SLIDE-1-TITLE-HERE
Replace these every slider sentences with your featured post descriptions.Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha - Premiumbloggertemplates.com...
SLIDE-2-TITLE-HERE
Replace these every slider sentences with your featured post descriptions.Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha - Premiumbloggertemplates.com...
SLIDE-3-TITLE-HERE
Replace these every slider sentences with your featured post descriptions.Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha - Premiumbloggertemplates.com...
Minggu, 23 Januari 2011
Sabtu, 15 Mei 2010
Contoh Lead Berita
Lead umumnya disusun dalam bentuk:
Summary lead atau conclusion lead (teras berita yang menyimpulkan dan dipadatkan).
Contoh: Gubernur Jawa Timur, sabtu (2/6), mengunjungi pasien gawat darurat akibat angin puting beliung di Rumah Sakit Daerah Sidoarjo.
Statement lead (teras berita berupa pernyataan).
Contoh: Kepala menegaskan, pemerintah akan bertindak tegas terhadap pelaku peledakan Bom II di Bali yang mengakibatkan tewasnya beberapa warga.
Quotation lead (teras berita kutipan).
Contoh: “ Kami akan menampilkan aksi panggung yang berbeda dalam pergelaran nanti malam,” demikian dikatakan The Same kemarin, menanggapi keluhan fans yang menganggap mereka tidak pernah berubah.
Contrast lead (teras berita kontras).
Contoh: Bogor, yang berjuluk kota hujan, untuk pertama kalinya dalam sebulan terakhir ini dilanda kemarau. Warga mersakan kesulitan mendapatkan air bersih.
Exclamation lead (teras berita yang menjerit)
Contoh: “ Tidak…!” demikian teriak histeris terdakwa AP, mendengar putusan hakim yang memvonisnya dengan hukuman mati.
Summary lead atau conclusion lead (teras berita yang menyimpulkan dan dipadatkan).
Contoh: Gubernur Jawa Timur, sabtu (2/6), mengunjungi pasien gawat darurat akibat angin puting beliung di Rumah Sakit Daerah Sidoarjo.
Statement lead (teras berita berupa pernyataan).
Contoh: Kepala menegaskan, pemerintah akan bertindak tegas terhadap pelaku peledakan Bom II di Bali yang mengakibatkan tewasnya beberapa warga.
Quotation lead (teras berita kutipan).
Contoh: “ Kami akan menampilkan aksi panggung yang berbeda dalam pergelaran nanti malam,” demikian dikatakan The Same kemarin, menanggapi keluhan fans yang menganggap mereka tidak pernah berubah.
Contrast lead (teras berita kontras).
Contoh: Bogor, yang berjuluk kota hujan, untuk pertama kalinya dalam sebulan terakhir ini dilanda kemarau. Warga mersakan kesulitan mendapatkan air bersih.
Exclamation lead (teras berita yang menjerit)
Contoh: “ Tidak…!” demikian teriak histeris terdakwa AP, mendengar putusan hakim yang memvonisnya dengan hukuman mati.
Kamis, 15 April 2010
PRAGMATIK
1. Faktor-faktor dalam berkomunikasi terdiri atas tujuh hal:
a. Siapa dan dengan siapa mereka berbahasa
Maksudnya adalah lawan bicara yang diajak berkomunikasi. Pembicara mungkin sejajar, setaraf, atau sama kedudukannya dengan lawan bicara. Mungkin juga pembicara lebih rendah dari lawan berbicara, atau kedudukan pembicara lebih tinggi daripada kedudukan lawan berbicara.
b. Untuk tujuan apa mereka berbahasa
Misalnya tujuannya untuk menginformasikan/memberitahukan kepada lawan bicara, untuk menghibur, atau campuran kedua hal tersebut.
c. Dalam konteks atau situasi yang bagaimana mereka berbahasa
Bila suatu pembicaraan berlangsung dalam suasana resmi, maka pembicara harus menggunakan bahasa yang lazim digunakan, yakni ragam baku. Bila suasana pembicaraan tidak resmi tetapi pesertanya beraneka ragam latar belakang budayanya, maka pembicaraannya menggunakan bahasa pengantar yang lazim, misalnya bahasa Indonesia dan raga bahasanya perlu baku.
d. Topik apa yang akan dibicarakan
Ketika berkomunikasi pasti ada topik yang sedang dibahas. Misalnya tentang pekerjaan.
e. Dengan jalur mana (lisan atau tulisan)
Bagaimana cara pembicara berkomunikasi dengan lawan berbicara. Apakah melalui media lisan atau tulisan.
f. Media apa yang digunakan dalam berkomunikasi itu
Media yang digunakan dalam berkomunikasi seperti media tatap muka, telepon, surat, koran, dan sejenisnya menuntut pembicara atau penulisnya memilih dan menggunakan pilihan kata, kalimat, dan ragam bahasa tertentu pula.
g. Dalam peristiwa apa mereka berbicara
Komunikasi yang berlangsung dalam peristiwa percakapan, ceramah, upacara, lamaran pekerjaan, menyatakan cinta dan sebagainya menuntut pemakaian bahasa tertentu pula.
2. Ragam bahasa yang palig berkaitan dengan pragmatik
a. Ragam beku (frozen), ialah ragam bahasa yang paling resmi yang dipergunakan dalam situasi-situasi yang khidmat dan upacara-upacara resmi. Dalam bentuk tulis, ragam beku ini terdapat dalam dokumen-dokumen bersejarah, seperti dalam Undang Undang Dasar dan dokumen-dokumen penting lainnya.
b. Ragam resmi (formal), ialah ragam bahasa yang dipakai dalam pidato-pidato resmi rapat dinas atau rapat resmi pimpinan suatu badan.
c. Ragam usaha (consultative), ialah ragam bahasa yang sesuai dengan pembicaraan- pembicaraan biasa di sekolah-sekolah, perusahaan-perusahaan, dan rapat-rapat usaha yang berorientasi pada hasil; ragam ini berada pada tingkat yang paling operasional.
d. Ragam santai (casual), ialah ragam bahasa yang biasa dipakai antarteman dalam berbincang-bincang, rekreasi, berolahraga, dan sebagainya.
e. Ragam akrab (intimate), ialah ragam bahasa antaranggota yang akrab dalam keluarga atau teman-teman yang tidak perlu berbahasa secara lengkap dengan artikulasi yang terang tetapi cukup dengan ucapan-ucapan yang pendek-pendek.
3. Pokok bahasan pragmatik
a. Aspek sosialisasi mencakup beberapa hal seperti:
menyapa orang lain waktu berkumpul
menyapa orang lain waktu bertemu
menyapa orang lain berpisah
b. Aspek intelektual mencakup beberapa hal seperti:
mengungkapkan sesuatu itu mungkin atau tidak mungkin
ingin mengetahui sesuatu itu mungkin atau tidak mungkin
menyatakan kemampuan atau ketidakmampuan
mengungkapkan apakah sesuatu itu masuk akal
ingin mengetahui apakah sesuatu itu masuk akal
ingin mengetahui tentang kemampuan atau ketidakmampuan
ingin mengetahui apakah sesuatu itu pasti atau tidak pasti
ingin mengetahui sesuatu itu pasti atau tidak pasti di antara orang lain
c. Aspek emosi mencakup beberapa hal seperti:
mengungkapkan sesuatu itu menarik atau tidak menarik
ingin mengetahui sesuatu itu menarik atau tidak menarik
mengungkapkan rasa puas
mengungkapkan rasa tidak puas
ingin mengetahui rasa puas dan tidak puas
menyatakan pilihan (senang)
ingin mengetahui rasa senang dan setuju
d. Aspek informasi faktual mencakup beberapa hal seperti berikut ini:
mengidentifikasi sesuatu
melaporkan sesuatu
memperbaiki sesuatu
bertanya tentang sesuatu
e. Aspek moral mencakup beberapa hal seperti berikut ini:
minta maaf
menyatakan persetujuan
menyatakan pengungkapan sesuatu
menyatakan penyesalan
f. Aspek penyelesaian sesuatu mencakup beberapa hal seperti berikut ini:
menyatakan sesuatu pekerjaan
meminta orang lain mengerjakan sesuatu
memberikan bantuan
meminta bantuan
4. Contoh percakapan
a. Aspek sosialisasi; menyapa orang lain waktu bertemu.
Niko pergi ke kampus. Saat tiba di kampus, ia bertemu dengan Boni, teman sekelasnya waktu SMA dulu.
Niko : Hai, Bon. Apa kabar? Sudah lama kita tidak bertemu.
Boni : Kabar baik. Kamu apa kabar?
Niko : Baik juga. Kamu mengapa di sini? Kuliah di sini juga kah?
Boni :Iya. Saya kuliah di Fakultas Kedokteran. Kamu kuliah di fakultas apa?
Niko : Saya kuliah di FKIP. Kamu kemana saja? Kenapa tidak ada kabar?
Boni : Saya baru masuk kuliah tahun ini. Kemarin saya menganggur sementara. Biasa, cari uang dulu.
b. Aspek intelektual; ingin mengetahui sesuatu itu mungkin atau tidak mungkin
Timbang : Jon, saya ada dengar kabar bahwa ada orang yang jatuh dari lantai tiga Hotel Kapuas, tetapi orang tersebut tidak ada mengalami luka.
Joni : Ah, tidak mungkin. Paling tidak pasti ada luka atau mungkin patah kakinya.
Timbang : Benar, Jon. Dia sama sekali tidak mengalami luka sedikitpun.
Joni : Memangnya kamu melihat kejadiannya secara langsung?
Timbang : Saya hanya mendengar kabar saja. Saya tidak percaya dengan kabar itu, tidak masuk akal. Tidak mungkin ada orang yang jatuh dari lantai setinggi itu tidak mengalami luka sedikitpun. Kalau memang itu benar, saya ingin melihat kondisi orang tersebut.
c. Aspek emosi; mengungkapkan rasa puas dan tidak puas
Jalung : Akhirnya nilai keluar semuanya. Saya sangat puas dengan hasil yang saya raih. Tidak sia-sia selama ini saya rajin belajar.
Tun : Memangnya IP kamu berapa?
Jalung : 3,75. Punya kamu berapa?
Tun : Rendah.
Jalung : Iya, rendahnya berapa?
Tun : 2,50. Padahal saya sering baca-baca buku.
Jalung : Mungkin kamu tidak serius belajarnya. Sabar saja. Tetap semangat. Mudah- mudahan semester depan nilaimu lebih baik.
d. Aspek informasi faktual; bertanya tentang sesuatu
Adi : Apa yang terjadi disini? Mengapa orang ramai berkumpul?
Ade : Ada kecelakaan. Baru saja terjadi beberapa menit yang lalu.
Adi : Bagaimana kejadiannya?
Ade : Seorang anak yang sedang pakai sepeda ditabrak motor dari arah belakang.
Adi : Bagaimana kondisi keduanya?
Ade : Anak kecil itu sudah dibaa ke klinik di sana. Yang pakai motor masih ditahan masyarakat. Masih ditanya-tanya mengapa ia bisa nabrak.
e. Aspek moral; menyatakan penyesalan dan meminta maaf
Joni duduk sendirian di kantin kampus. Ia masih belum pulang ke rumah. Ia sepertinya memikirkan sesuatu. Ya, dia memang sedang memikirkan sesuatu. Ia merasa bersalah karena telah memukul Hasran kemarin. Ia pun menemui Hasran dan meminta maaf.
“Hasran, saya minta maaf atas kejadian kemarin. Saya menyesal. Saya berjanji tidak akan mengulanginya lagi”, kata Joni.
“Ya sudah, tidak apa-apa. Saya juga minta maaf karena mengolokmu duluan”, ungkap Hasran.
Mereka pun saling bersalaman dan saling minta maaf.
f. Aspek penyelesaian sesuatu; meminta bantuan
Boni : Jon, nanti sore ke rumah ku ya.
Joni : Ada apa?
Boni : Bantuin saya angkut barang-barang.
Joni : Memangnya kamu mau kemana?
Boni : Pindah kontrakan.
Joni : Okelah kalau begitu. Nanti sore saya datang bantu kamu.
5. Aspek intelektual dan aspek emosi
a. Aspek intelektual mencakup beberapa hal seperti:
mengungkapkan sesuatu itu mungkin atau tidak mungkin
ingin mengetahui sesuatu itu mungkin atau tidak mungkin
menyatakan kemampuan atau ketidakmampuan
mengungkapkan apakah sesuatu itu masuk akal
ingin mengetahui apakah sesuatu itu masuk akal
ingin mengetahui tentang kemampuan atau ketidakmampuan
ingin mengetahui apakah sesuatu itu pasti atau tidak pasti
ingin mengetahui sesuatu itu pasti atau tidak pasti di antara orang lain
b. Aspek emosi mencakup beberapa hal seperti:
mengungkapkan sesuatu itu menarik atau tidak menarik
ingin mengetahui sesuatu itu menarik atau tidak menarik
mengungkapkan rasa puas
mengungkapkan rasa tidak puas
ingin mengetahui rasa puas dan tidak puas
menyatakan pilihan (senang)
ingin mengetahui rasa senang dan setuju
6. Dialog ringkas yang mengandung rasa kekecewaan berdasarkan pendekatan komunikatif
Setelah satu jam berlalu, Tun mulai kesal dan mengomel-ngomel sendiri.
Tun : Mana sich Jalung? Lama sekali dia datang. Apa yang dia lakukan sekarang? Mengapa sampai jam segini dia belum juga datang?
Alau : Sabar saja dulu. Kita tunggu beberapa menit lagi.
Tun : Gimana mau menunggu dia lagi? Sekarang sudah jam berapa? Rombongan pasti sudah berangkat kalau kita menunggu Jalung datang.
Alau : Mungkin dia sedang mendapat gangguan.
Tun : Ah, kesabaran saya sudah habis.
Alau : Iya, tapi tenang dulu. Kita tidah mungkin meninggalkan dia. Kita sudah janji.
Dua jam telah berlalu, Jalung belum juga datang dan sama sekali tidak memberi kabar kepada Alau dan Tun.
Tun : Lihat! (sambil menunjukkan jam tangannya). Sudah dua jam kita menunggu tetapi ia tidak juga datang. Saya kecewa dengan Jalung. Dia tidak menepati janjinya. Gara-gara dia, kita batal berangkat ke Pasir Panjang.
Alau juga kecewa karena ulah Jalung.
Alau : Mau bagaimana lagi? Saya juga sangat kecewa dengannya.
Akhirnya mereka tidak jadi berangkat ke Pasir Panjang.
7. Karangan ringkas berdasarkan pendekatan CBSA dalam menyampaikan pragmatik dalam aspek emosi
Willy dan Arif adalah dua sekawan. Saat ini mereka duduk di kelas XII. Tidak lama lagi mereka akan mengikuti Ujian Nasional. Setiap hari mereka selalu mengikuti jam tambahan (les) setelah pulang sekolah. Mereka tidak pernah bolos. Setiap ada tugas, mereka serius mengerjakannya. Mereka selalu bersama-sama membahas semua tugas yang diberikan oleh guru.
“Tidak boleh ada kata bosan untuk belajar”, kata Willy.
“Ya, kita harus bisa membuktikan pada orang tua kita bahwa kita bisa lulus Ujian Nasional”, kata Arif.
“Rif, kamu kuliah kemana kalau sudah lulus nanti”, tanya Willy.
“Saya ingin masuk ke Fakultas Kedokteran di Universitas Tanjungpura. Sejak kecil, saya bercita-cita ingin menjadi seorang dokter”, jawab Arif.
“Kalau kamu, Wil. Mau lanjut kuliah kemana?”, lanjut Arif.
“Nanti lihatnya lah. Saya belum tahu. Kamu kan tahu bagaimana kondisi keluarga saya. Lulus SMA pun sudah bersyukur. Masalah kuliah nanti kita lihat”, kata Willy.
“Ya, saya mengerti, Wil. Sekarang kita focus saja untuk menghadapi Ujian Nasional. Setelah itu, baru pikir kedepannya”, kata Arif.
“Ya, kita harus lulus UN!”, ucap Willy dengan semangat.
Ujian Nasional telah mereka lalui. Kini mereka menunggu pengumuman kelulusan. Tiba pada harinya, amplop dibagikan. Mereka lulus dengan nilai yang memuaskan.
“Horeee,,,,,,,kita berhasil! Kita lulus!” teriak Willy dan Arif.
“Selamat atas kerja keras kalian selama ini. Inilah hasil yang kalian raih. Kalian berdua lulus dengan nilai yang terbaik di sekolah kita ini”, ucap kepala sekolah memberiakn ucapan selamat kepada Willy dan Arif.
“Terima kasih, Pak. Kami sangat senang dengan apa yang kami raih sekarang. Ini juga berkat guru-guru yang telah memberi semangat dan membantu proses pembelajaran selama kami sekolah disini”, kata mereka berdua.
8. Sapaan dan salam yang baik
Paman, semoga cepat sembuh ya.
Pak, cepat sembuh ya, supaya bisa mengajar kami lagi di sekolah. Kami sudah lama tidak diajar oleh Bapak. Kami semua merindukan Bapak.
Mama, semoga cepat sembuh ya. Jalung sayang sama Mama.
9. Menyempurnakan kalimat
a. Saya ikut bangga karena adik naik kelas.
b. Saya ikut senang karena ayah naikpangkat.
c. Saya sangat senang karena berhasil menyelesaikan tugas saya.
d. Saya sangat kecewa karena tidak bisa menyelesaikan masalah itu.
e. Ibu dan ayah ikut bangga karena saya berhasil menyelesaikan studi di jurusan ini dan menjadi seorang sarjana.
f. Yani dan Tika sangat kecewa karena Jalung tidak menepati janjinya.
g. Paman tidak puas dengan hasil itu karena ia merasa belum maksimal menyelesaikannya.
h. Masalah itu tidak masuk akal karena tidak ada bukti kuat yang menyatakan bahwa ia bersalah.
a. Siapa dan dengan siapa mereka berbahasa
Maksudnya adalah lawan bicara yang diajak berkomunikasi. Pembicara mungkin sejajar, setaraf, atau sama kedudukannya dengan lawan bicara. Mungkin juga pembicara lebih rendah dari lawan berbicara, atau kedudukan pembicara lebih tinggi daripada kedudukan lawan berbicara.
b. Untuk tujuan apa mereka berbahasa
Misalnya tujuannya untuk menginformasikan/memberitahukan kepada lawan bicara, untuk menghibur, atau campuran kedua hal tersebut.
c. Dalam konteks atau situasi yang bagaimana mereka berbahasa
Bila suatu pembicaraan berlangsung dalam suasana resmi, maka pembicara harus menggunakan bahasa yang lazim digunakan, yakni ragam baku. Bila suasana pembicaraan tidak resmi tetapi pesertanya beraneka ragam latar belakang budayanya, maka pembicaraannya menggunakan bahasa pengantar yang lazim, misalnya bahasa Indonesia dan raga bahasanya perlu baku.
d. Topik apa yang akan dibicarakan
Ketika berkomunikasi pasti ada topik yang sedang dibahas. Misalnya tentang pekerjaan.
e. Dengan jalur mana (lisan atau tulisan)
Bagaimana cara pembicara berkomunikasi dengan lawan berbicara. Apakah melalui media lisan atau tulisan.
f. Media apa yang digunakan dalam berkomunikasi itu
Media yang digunakan dalam berkomunikasi seperti media tatap muka, telepon, surat, koran, dan sejenisnya menuntut pembicara atau penulisnya memilih dan menggunakan pilihan kata, kalimat, dan ragam bahasa tertentu pula.
g. Dalam peristiwa apa mereka berbicara
Komunikasi yang berlangsung dalam peristiwa percakapan, ceramah, upacara, lamaran pekerjaan, menyatakan cinta dan sebagainya menuntut pemakaian bahasa tertentu pula.
2. Ragam bahasa yang palig berkaitan dengan pragmatik
a. Ragam beku (frozen), ialah ragam bahasa yang paling resmi yang dipergunakan dalam situasi-situasi yang khidmat dan upacara-upacara resmi. Dalam bentuk tulis, ragam beku ini terdapat dalam dokumen-dokumen bersejarah, seperti dalam Undang Undang Dasar dan dokumen-dokumen penting lainnya.
b. Ragam resmi (formal), ialah ragam bahasa yang dipakai dalam pidato-pidato resmi rapat dinas atau rapat resmi pimpinan suatu badan.
c. Ragam usaha (consultative), ialah ragam bahasa yang sesuai dengan pembicaraan- pembicaraan biasa di sekolah-sekolah, perusahaan-perusahaan, dan rapat-rapat usaha yang berorientasi pada hasil; ragam ini berada pada tingkat yang paling operasional.
d. Ragam santai (casual), ialah ragam bahasa yang biasa dipakai antarteman dalam berbincang-bincang, rekreasi, berolahraga, dan sebagainya.
e. Ragam akrab (intimate), ialah ragam bahasa antaranggota yang akrab dalam keluarga atau teman-teman yang tidak perlu berbahasa secara lengkap dengan artikulasi yang terang tetapi cukup dengan ucapan-ucapan yang pendek-pendek.
3. Pokok bahasan pragmatik
a. Aspek sosialisasi mencakup beberapa hal seperti:
menyapa orang lain waktu berkumpul
menyapa orang lain waktu bertemu
menyapa orang lain berpisah
b. Aspek intelektual mencakup beberapa hal seperti:
mengungkapkan sesuatu itu mungkin atau tidak mungkin
ingin mengetahui sesuatu itu mungkin atau tidak mungkin
menyatakan kemampuan atau ketidakmampuan
mengungkapkan apakah sesuatu itu masuk akal
ingin mengetahui apakah sesuatu itu masuk akal
ingin mengetahui tentang kemampuan atau ketidakmampuan
ingin mengetahui apakah sesuatu itu pasti atau tidak pasti
ingin mengetahui sesuatu itu pasti atau tidak pasti di antara orang lain
c. Aspek emosi mencakup beberapa hal seperti:
mengungkapkan sesuatu itu menarik atau tidak menarik
ingin mengetahui sesuatu itu menarik atau tidak menarik
mengungkapkan rasa puas
mengungkapkan rasa tidak puas
ingin mengetahui rasa puas dan tidak puas
menyatakan pilihan (senang)
ingin mengetahui rasa senang dan setuju
d. Aspek informasi faktual mencakup beberapa hal seperti berikut ini:
mengidentifikasi sesuatu
melaporkan sesuatu
memperbaiki sesuatu
bertanya tentang sesuatu
e. Aspek moral mencakup beberapa hal seperti berikut ini:
minta maaf
menyatakan persetujuan
menyatakan pengungkapan sesuatu
menyatakan penyesalan
f. Aspek penyelesaian sesuatu mencakup beberapa hal seperti berikut ini:
menyatakan sesuatu pekerjaan
meminta orang lain mengerjakan sesuatu
memberikan bantuan
meminta bantuan
4. Contoh percakapan
a. Aspek sosialisasi; menyapa orang lain waktu bertemu.
Niko pergi ke kampus. Saat tiba di kampus, ia bertemu dengan Boni, teman sekelasnya waktu SMA dulu.
Niko : Hai, Bon. Apa kabar? Sudah lama kita tidak bertemu.
Boni : Kabar baik. Kamu apa kabar?
Niko : Baik juga. Kamu mengapa di sini? Kuliah di sini juga kah?
Boni :Iya. Saya kuliah di Fakultas Kedokteran. Kamu kuliah di fakultas apa?
Niko : Saya kuliah di FKIP. Kamu kemana saja? Kenapa tidak ada kabar?
Boni : Saya baru masuk kuliah tahun ini. Kemarin saya menganggur sementara. Biasa, cari uang dulu.
b. Aspek intelektual; ingin mengetahui sesuatu itu mungkin atau tidak mungkin
Timbang : Jon, saya ada dengar kabar bahwa ada orang yang jatuh dari lantai tiga Hotel Kapuas, tetapi orang tersebut tidak ada mengalami luka.
Joni : Ah, tidak mungkin. Paling tidak pasti ada luka atau mungkin patah kakinya.
Timbang : Benar, Jon. Dia sama sekali tidak mengalami luka sedikitpun.
Joni : Memangnya kamu melihat kejadiannya secara langsung?
Timbang : Saya hanya mendengar kabar saja. Saya tidak percaya dengan kabar itu, tidak masuk akal. Tidak mungkin ada orang yang jatuh dari lantai setinggi itu tidak mengalami luka sedikitpun. Kalau memang itu benar, saya ingin melihat kondisi orang tersebut.
c. Aspek emosi; mengungkapkan rasa puas dan tidak puas
Jalung : Akhirnya nilai keluar semuanya. Saya sangat puas dengan hasil yang saya raih. Tidak sia-sia selama ini saya rajin belajar.
Tun : Memangnya IP kamu berapa?
Jalung : 3,75. Punya kamu berapa?
Tun : Rendah.
Jalung : Iya, rendahnya berapa?
Tun : 2,50. Padahal saya sering baca-baca buku.
Jalung : Mungkin kamu tidak serius belajarnya. Sabar saja. Tetap semangat. Mudah- mudahan semester depan nilaimu lebih baik.
d. Aspek informasi faktual; bertanya tentang sesuatu
Adi : Apa yang terjadi disini? Mengapa orang ramai berkumpul?
Ade : Ada kecelakaan. Baru saja terjadi beberapa menit yang lalu.
Adi : Bagaimana kejadiannya?
Ade : Seorang anak yang sedang pakai sepeda ditabrak motor dari arah belakang.
Adi : Bagaimana kondisi keduanya?
Ade : Anak kecil itu sudah dibaa ke klinik di sana. Yang pakai motor masih ditahan masyarakat. Masih ditanya-tanya mengapa ia bisa nabrak.
e. Aspek moral; menyatakan penyesalan dan meminta maaf
Joni duduk sendirian di kantin kampus. Ia masih belum pulang ke rumah. Ia sepertinya memikirkan sesuatu. Ya, dia memang sedang memikirkan sesuatu. Ia merasa bersalah karena telah memukul Hasran kemarin. Ia pun menemui Hasran dan meminta maaf.
“Hasran, saya minta maaf atas kejadian kemarin. Saya menyesal. Saya berjanji tidak akan mengulanginya lagi”, kata Joni.
“Ya sudah, tidak apa-apa. Saya juga minta maaf karena mengolokmu duluan”, ungkap Hasran.
Mereka pun saling bersalaman dan saling minta maaf.
f. Aspek penyelesaian sesuatu; meminta bantuan
Boni : Jon, nanti sore ke rumah ku ya.
Joni : Ada apa?
Boni : Bantuin saya angkut barang-barang.
Joni : Memangnya kamu mau kemana?
Boni : Pindah kontrakan.
Joni : Okelah kalau begitu. Nanti sore saya datang bantu kamu.
5. Aspek intelektual dan aspek emosi
a. Aspek intelektual mencakup beberapa hal seperti:
mengungkapkan sesuatu itu mungkin atau tidak mungkin
ingin mengetahui sesuatu itu mungkin atau tidak mungkin
menyatakan kemampuan atau ketidakmampuan
mengungkapkan apakah sesuatu itu masuk akal
ingin mengetahui apakah sesuatu itu masuk akal
ingin mengetahui tentang kemampuan atau ketidakmampuan
ingin mengetahui apakah sesuatu itu pasti atau tidak pasti
ingin mengetahui sesuatu itu pasti atau tidak pasti di antara orang lain
b. Aspek emosi mencakup beberapa hal seperti:
mengungkapkan sesuatu itu menarik atau tidak menarik
ingin mengetahui sesuatu itu menarik atau tidak menarik
mengungkapkan rasa puas
mengungkapkan rasa tidak puas
ingin mengetahui rasa puas dan tidak puas
menyatakan pilihan (senang)
ingin mengetahui rasa senang dan setuju
6. Dialog ringkas yang mengandung rasa kekecewaan berdasarkan pendekatan komunikatif
Kecewa
Alau, Jalung, dan Tun adalah tiga sahabat. Mereka berencana akan pergi liburan ke Pasir Panjang. Sebelumnya mereka telah berjanji untuk berangkat bersama-sama. Pada hari yang telah ditentukan, Alau dan Tun telah berkemas dan siap untuk berangkat ke Pasir Panjang. Tetapi Jalung belum juga datang.Setelah satu jam berlalu, Tun mulai kesal dan mengomel-ngomel sendiri.
Tun : Mana sich Jalung? Lama sekali dia datang. Apa yang dia lakukan sekarang? Mengapa sampai jam segini dia belum juga datang?
Alau : Sabar saja dulu. Kita tunggu beberapa menit lagi.
Tun : Gimana mau menunggu dia lagi? Sekarang sudah jam berapa? Rombongan pasti sudah berangkat kalau kita menunggu Jalung datang.
Alau : Mungkin dia sedang mendapat gangguan.
Tun : Ah, kesabaran saya sudah habis.
Alau : Iya, tapi tenang dulu. Kita tidah mungkin meninggalkan dia. Kita sudah janji.
Dua jam telah berlalu, Jalung belum juga datang dan sama sekali tidak memberi kabar kepada Alau dan Tun.
Tun : Lihat! (sambil menunjukkan jam tangannya). Sudah dua jam kita menunggu tetapi ia tidak juga datang. Saya kecewa dengan Jalung. Dia tidak menepati janjinya. Gara-gara dia, kita batal berangkat ke Pasir Panjang.
Alau juga kecewa karena ulah Jalung.
Alau : Mau bagaimana lagi? Saya juga sangat kecewa dengannya.
Akhirnya mereka tidak jadi berangkat ke Pasir Panjang.
7. Karangan ringkas berdasarkan pendekatan CBSA dalam menyampaikan pragmatik dalam aspek emosi
Willy dan Arif adalah dua sekawan. Saat ini mereka duduk di kelas XII. Tidak lama lagi mereka akan mengikuti Ujian Nasional. Setiap hari mereka selalu mengikuti jam tambahan (les) setelah pulang sekolah. Mereka tidak pernah bolos. Setiap ada tugas, mereka serius mengerjakannya. Mereka selalu bersama-sama membahas semua tugas yang diberikan oleh guru.
“Tidak boleh ada kata bosan untuk belajar”, kata Willy.
“Ya, kita harus bisa membuktikan pada orang tua kita bahwa kita bisa lulus Ujian Nasional”, kata Arif.
“Rif, kamu kuliah kemana kalau sudah lulus nanti”, tanya Willy.
“Saya ingin masuk ke Fakultas Kedokteran di Universitas Tanjungpura. Sejak kecil, saya bercita-cita ingin menjadi seorang dokter”, jawab Arif.
“Kalau kamu, Wil. Mau lanjut kuliah kemana?”, lanjut Arif.
“Nanti lihatnya lah. Saya belum tahu. Kamu kan tahu bagaimana kondisi keluarga saya. Lulus SMA pun sudah bersyukur. Masalah kuliah nanti kita lihat”, kata Willy.
“Ya, saya mengerti, Wil. Sekarang kita focus saja untuk menghadapi Ujian Nasional. Setelah itu, baru pikir kedepannya”, kata Arif.
“Ya, kita harus lulus UN!”, ucap Willy dengan semangat.
Ujian Nasional telah mereka lalui. Kini mereka menunggu pengumuman kelulusan. Tiba pada harinya, amplop dibagikan. Mereka lulus dengan nilai yang memuaskan.
“Horeee,,,,,,,kita berhasil! Kita lulus!” teriak Willy dan Arif.
“Selamat atas kerja keras kalian selama ini. Inilah hasil yang kalian raih. Kalian berdua lulus dengan nilai yang terbaik di sekolah kita ini”, ucap kepala sekolah memberiakn ucapan selamat kepada Willy dan Arif.
“Terima kasih, Pak. Kami sangat senang dengan apa yang kami raih sekarang. Ini juga berkat guru-guru yang telah memberi semangat dan membantu proses pembelajaran selama kami sekolah disini”, kata mereka berdua.
8. Sapaan dan salam yang baik
Paman, semoga cepat sembuh ya.
Pak, cepat sembuh ya, supaya bisa mengajar kami lagi di sekolah. Kami sudah lama tidak diajar oleh Bapak. Kami semua merindukan Bapak.
Mama, semoga cepat sembuh ya. Jalung sayang sama Mama.
9. Menyempurnakan kalimat
a. Saya ikut bangga karena adik naik kelas.
b. Saya ikut senang karena ayah naikpangkat.
c. Saya sangat senang karena berhasil menyelesaikan tugas saya.
d. Saya sangat kecewa karena tidak bisa menyelesaikan masalah itu.
e. Ibu dan ayah ikut bangga karena saya berhasil menyelesaikan studi di jurusan ini dan menjadi seorang sarjana.
f. Yani dan Tika sangat kecewa karena Jalung tidak menepati janjinya.
g. Paman tidak puas dengan hasil itu karena ia merasa belum maksimal menyelesaikannya.
h. Masalah itu tidak masuk akal karena tidak ada bukti kuat yang menyatakan bahwa ia bersalah.
FILSAFAT ILMU
Manusia adalah makhluk berpikir. Kasadaran manusia akan realitas yang sering tampil samar dan misterius membuat manusia menjadi gelisah. Manusia dari waktu ke waktu mencoba untuk memahami, menjelaskan, dan menguraikan misteri yang terjadi. Oleh karena itu, setiap periode peradaban mengenai pemahaman terhadap realitas senantiasa aktual. Aktualitas tersebut merupakan konsekuensi dari kenyataan bahwa jawaban terhadap realitas, tidak dibuat sekali untuk selamanya, dan tidak bisa dibuat seseorang untuk semuanya.
Pemahaman manusia terhadap realitas senantiasa menuntut pemuasan intelektual untuk mencapai suatu kerangka berpikir yang konsisten dan utuh. Ilmu pengetahuan pada dasarnya lahir dan berkembang sebagai konsekuensi dari usaha-usaha manusia untuk memahami realitas kehidupan, alam semesta, melestarikan hasil yang sudah dicapai manusia sebelumnya. Usaha tersebut terakumulasi membentuk tubuh ilmu pengetahuan yang memiliki strukturnya sendiri. Struktur tubuh ilmu pengetahuan bukan barang jadi, karena struktur tersebut selalu berubah seiring dengan perubahan manusia baik dalam mengidentifikasi dirinya, memahami alam semesta, maupun dalam cara berpikir.
Ilmu bukan merupakan suatu bangun abadi, karena ilmu sebenarnya merupakan sesuatu yang tidak pernah selesai. Ilmu didasarkan pada kerangka objektif, rasional, sistematis, logis dan empiris. Dalam perkembangannya ilmu tidak mungkin lepas dari mekanisme keterbukaan terhadap koreksi dengan kata lain kebenaran ilmu bukan kebenaran mutlak. Kebenaran ilmu adalah kebenaran yang bersifat relatif. Itulah sebabnya, manusia dituntut untuk selalu mencari alternatif pengembangannya, baik yang menyangkut aspek metodologos, ontologism (tentang apa), epistemologis (bagaimana), mupun aksiologis (untuk apa). Setiap pengembangan ilmu yang dilahirkan paling tidak validitas dan kebenarannya dapat dipertangungjawabkan baik berdasarkan konteks justifikasi maupun konteks discovery.
Pengembangan ilmu pengetahuan adalah sejauh mana spiritualitas, moralitas, dan norma-norma etik maupun berperan sebagai dasar pengembangan ilmu itu sendiri. Apakah tata nilai ilmu pengetahuan mampu mengembangkan budaya dan pola pikir manusia sehingga tidak terjebak dalam pengembangan ilmu pengetahuan yang kering yang hanya bersifat fisik semata. Disinilah pemahaman terhadap filsafat ilmu sangat diperlukan.. Pengembangan ilmu harus disinkronisasikan dengan akar budaya suatu bangsa. Nilai sebuah pengembangan ilmu dapat dillihat dari sejauh mana esensi ilmu tersebut mampu memberikan nilai lebih terhadap kemakmuran kehidupan manusia tanpa harus meninggalkan tata nilai, etik, moral dan filosofi dimana manusia tersebut berada.
Menurut Ghazali, ilmu dan kebenaran ibarat dua sisi sekeping mata uang. Manusia diciptakan Allah adalah untuk menjadi khalifah di bumi. Oleh karena itu, manusia mempunyai kewajiban untuk mengoptimalisasi potensi dirinya dan kerangka pengembangan ilmu pengetahuan yang berguna bagi dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara. Ilmu pengetahuan sebenarnya merupakan sebuah proses dan produk, ini menyebabkan konsep dan pandangan tentang ilmu pengetahuan akan selalu berubah sesuai dengan ruang dan waktu, sehingga tidak tertutup kemungkinan perkembangan ilmu yang akan lepas dari tata nilai budaya, etika, moral, maupun agama. Inilah yang harus dipikirkan manusia jangan sampai terjadi.
Perkembangan ilmu pengetahuan akhir-akhir ini, tampak sekali bahwa percepatan yang dikembangkan para ilmuwan lebih mengarah pada produk ilmiahnya daripada substansi atau hakikat keilmuan yang dapat dipakai sebagai sumber nilai yang mendukung pengembangan kebudayaan. Kenyataan ini dapat dipahami karena pengembangan aplikasi keilmuan berporos pada kebudayaan barat (lebih pada duniawidaripada rohani). Kalau kerangka pengembangan ilmu pengetahuan model barat begitu saja diadopsi di Indonesia, tentu tidak selamanya tepat.
Ilmu (science): merupakan pengetahuan yang mempunyai karakteristik tersendiri..
Pengetahuan (knowledge) mempunyai berbagai cabang pengetahuan. Ilmu merupakan satu diantara cabang pengetahuan. Karakteristik keilmuan itulah yang mencirikan hakikat keilmuan dan sekaligus yang membedakan ilmu dari berbagai cabang pengetahuan lainnya. Karakteristik keilmuan menjadikan pengetahuan menjadi bersifat ilmiah (pengetahuan ilmiah). Pengetahuan adalah segala sesuatu yang kita ketahui (kesenian, budaya, dll) sampai pengetahuan yang disebut ilmu.
Sumber Pengetahuan
1. Pikiran : karena adanya rasa ingin tahu
2. Perasaan : erat hubungannya dengan berpikir
3. Indera : melalui indera dapat pengetahuan
4. Intuisi : hal yang tidak perlu dipikir lagi. Jawabannya sudah ada dalam otak kita/ pengetahuan siap.
5. Wahyu : disampaikan oleh Tuhan secara langsung
• Ilmu berkaitan erat dengan dua sumber pengetahuan yakni pikiran dan indera
• Ilmu pada hakikatnya mencoba memadukan dua kemampuan manusia ini untuk mengungkapkan rahasia alam lewat kegiatan berpikir dan mengamati.
Penalaran
Penalaran adalah suatu kegiatan berpikir berdasarkan suatu aturan. Aturan dalam kegiatan berpikir tersebut disebut logika. Penalaran merupakan kegiatan berpikir yang mempunyai karakteristik tertentu dalam menentukan kebenaran.
Berpikir logis merupakan suatu kegiatan berpikir secara teratur berdasarkan logika. Proses berpikir yang dituntun oleh suatu logika disebut kegiatan analisis.
Analisis merupakan proses yang harus ditempuh dalam berpikir agar kesimpulan yang ditarik sahih ditinjau dari suatu logika tertentu. Penalaran melalui dua tahap, yaitu berpikir (logika) dan analisis. Logika dalam arti sempit adalah cara berpikir menurut suatu aturan tertentu. Aturan berpikir dalam kegiatan ilmu dipatuhi dengan penuh kedisiplinan.
Tujuan utama penalaran adalah mengembangkan kemampuan untuk mencirikan dan membedakan buah pikiran/ide berdasarkan konsep pemikiran tertentu. Oleh karena itu, harus dikembangkan konsep kemampuan untuk menguasai konsep hakikat keilmuan dan mempergunakan konsep tersebut untuk membedakan ilmu terhadap cabang pengetahuan lain. Kita harus meletakkan ilmu dalam perspektif yang benar di tengah perspektif pengetahuan secara keseluruhan. Dengan demikian akan terbuka kemungkinan untuk menganalisis kaitan ilmu dengan pengetahuan lain seperti moral dan humaniora. Pendekatan ini akan menghasilkan ilmuwan yang mempunyai keahlian tetapi juga makhluk berbudaya yang berkepribadian luhur.
Menurut van Peursen, skema pemikiran manusia
1. Mitis
Dalam tahap mitis, apa yang disebut kebenaran atau kenyataan adalah sesuatu yang given, mistis, dan tidak perlu dipikirkan
2. Ontologis
Dalam hal ontologis, manusia atau masyarakat mandambakan kebenaran substansial
3. Fungsional
Kebenaran atau kenyataan diletakkan pada fungsi atau relasi kemamfaatannya. Manusia memamfaatkan segala yang ada di sekitar.
Tiga kategori pengetahuan
1. Pengetahuan tentang apa yang baik dan buruk
2. Pengetahuan tentang yang baik dan buruk (estetika)
3. Pengetahuan tentang yang baik dan salah (logika)
Tiga ciri pembeda pengetahuan
1. Tentang apa (entologi)
2. Bagaimana (epistemologi)
3. Untuk apa (aksiologi)
Kebenaran
Apa yang disebut benar bagi setiap orang adalah tidak sama. Proses berpikir manusia mempunyai tiga criteria kebenaran.
1. Koherensi (utuh)
Merupakan teori kebenaran yang mendasarkan diri kepada kriteria tentang suatu argumentasi
2. Korespondensi
Merupakan teori kebenaran yang mendasarkan diri kepada kriteria tentang kesesuaian antara materi yang dikandung oleh suatu pernyataan dengan objek yang dikenai pernyataan
3. Pragmatisme
Merupakan teori kebenaran yang mendasarkan diri kepada kriteria tentang berfungsi atau tidaknya suatu pernyataan dalam lingkup ruang dan waktu tertentu.
Pemahaman manusia terhadap realitas senantiasa menuntut pemuasan intelektual untuk mencapai suatu kerangka berpikir yang konsisten dan utuh. Ilmu pengetahuan pada dasarnya lahir dan berkembang sebagai konsekuensi dari usaha-usaha manusia untuk memahami realitas kehidupan, alam semesta, melestarikan hasil yang sudah dicapai manusia sebelumnya. Usaha tersebut terakumulasi membentuk tubuh ilmu pengetahuan yang memiliki strukturnya sendiri. Struktur tubuh ilmu pengetahuan bukan barang jadi, karena struktur tersebut selalu berubah seiring dengan perubahan manusia baik dalam mengidentifikasi dirinya, memahami alam semesta, maupun dalam cara berpikir.
Ilmu bukan merupakan suatu bangun abadi, karena ilmu sebenarnya merupakan sesuatu yang tidak pernah selesai. Ilmu didasarkan pada kerangka objektif, rasional, sistematis, logis dan empiris. Dalam perkembangannya ilmu tidak mungkin lepas dari mekanisme keterbukaan terhadap koreksi dengan kata lain kebenaran ilmu bukan kebenaran mutlak. Kebenaran ilmu adalah kebenaran yang bersifat relatif. Itulah sebabnya, manusia dituntut untuk selalu mencari alternatif pengembangannya, baik yang menyangkut aspek metodologos, ontologism (tentang apa), epistemologis (bagaimana), mupun aksiologis (untuk apa). Setiap pengembangan ilmu yang dilahirkan paling tidak validitas dan kebenarannya dapat dipertangungjawabkan baik berdasarkan konteks justifikasi maupun konteks discovery.
Pengembangan ilmu pengetahuan adalah sejauh mana spiritualitas, moralitas, dan norma-norma etik maupun berperan sebagai dasar pengembangan ilmu itu sendiri. Apakah tata nilai ilmu pengetahuan mampu mengembangkan budaya dan pola pikir manusia sehingga tidak terjebak dalam pengembangan ilmu pengetahuan yang kering yang hanya bersifat fisik semata. Disinilah pemahaman terhadap filsafat ilmu sangat diperlukan.. Pengembangan ilmu harus disinkronisasikan dengan akar budaya suatu bangsa. Nilai sebuah pengembangan ilmu dapat dillihat dari sejauh mana esensi ilmu tersebut mampu memberikan nilai lebih terhadap kemakmuran kehidupan manusia tanpa harus meninggalkan tata nilai, etik, moral dan filosofi dimana manusia tersebut berada.
Menurut Ghazali, ilmu dan kebenaran ibarat dua sisi sekeping mata uang. Manusia diciptakan Allah adalah untuk menjadi khalifah di bumi. Oleh karena itu, manusia mempunyai kewajiban untuk mengoptimalisasi potensi dirinya dan kerangka pengembangan ilmu pengetahuan yang berguna bagi dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara. Ilmu pengetahuan sebenarnya merupakan sebuah proses dan produk, ini menyebabkan konsep dan pandangan tentang ilmu pengetahuan akan selalu berubah sesuai dengan ruang dan waktu, sehingga tidak tertutup kemungkinan perkembangan ilmu yang akan lepas dari tata nilai budaya, etika, moral, maupun agama. Inilah yang harus dipikirkan manusia jangan sampai terjadi.
Perkembangan ilmu pengetahuan akhir-akhir ini, tampak sekali bahwa percepatan yang dikembangkan para ilmuwan lebih mengarah pada produk ilmiahnya daripada substansi atau hakikat keilmuan yang dapat dipakai sebagai sumber nilai yang mendukung pengembangan kebudayaan. Kenyataan ini dapat dipahami karena pengembangan aplikasi keilmuan berporos pada kebudayaan barat (lebih pada duniawidaripada rohani). Kalau kerangka pengembangan ilmu pengetahuan model barat begitu saja diadopsi di Indonesia, tentu tidak selamanya tepat.
Ilmu (science): merupakan pengetahuan yang mempunyai karakteristik tersendiri..
Pengetahuan (knowledge) mempunyai berbagai cabang pengetahuan. Ilmu merupakan satu diantara cabang pengetahuan. Karakteristik keilmuan itulah yang mencirikan hakikat keilmuan dan sekaligus yang membedakan ilmu dari berbagai cabang pengetahuan lainnya. Karakteristik keilmuan menjadikan pengetahuan menjadi bersifat ilmiah (pengetahuan ilmiah). Pengetahuan adalah segala sesuatu yang kita ketahui (kesenian, budaya, dll) sampai pengetahuan yang disebut ilmu.
Sumber Pengetahuan
1. Pikiran : karena adanya rasa ingin tahu
2. Perasaan : erat hubungannya dengan berpikir
3. Indera : melalui indera dapat pengetahuan
4. Intuisi : hal yang tidak perlu dipikir lagi. Jawabannya sudah ada dalam otak kita/ pengetahuan siap.
5. Wahyu : disampaikan oleh Tuhan secara langsung
• Ilmu berkaitan erat dengan dua sumber pengetahuan yakni pikiran dan indera
• Ilmu pada hakikatnya mencoba memadukan dua kemampuan manusia ini untuk mengungkapkan rahasia alam lewat kegiatan berpikir dan mengamati.
Penalaran
Penalaran adalah suatu kegiatan berpikir berdasarkan suatu aturan. Aturan dalam kegiatan berpikir tersebut disebut logika. Penalaran merupakan kegiatan berpikir yang mempunyai karakteristik tertentu dalam menentukan kebenaran.
Berpikir logis merupakan suatu kegiatan berpikir secara teratur berdasarkan logika. Proses berpikir yang dituntun oleh suatu logika disebut kegiatan analisis.
Analisis merupakan proses yang harus ditempuh dalam berpikir agar kesimpulan yang ditarik sahih ditinjau dari suatu logika tertentu. Penalaran melalui dua tahap, yaitu berpikir (logika) dan analisis. Logika dalam arti sempit adalah cara berpikir menurut suatu aturan tertentu. Aturan berpikir dalam kegiatan ilmu dipatuhi dengan penuh kedisiplinan.
Tujuan utama penalaran adalah mengembangkan kemampuan untuk mencirikan dan membedakan buah pikiran/ide berdasarkan konsep pemikiran tertentu. Oleh karena itu, harus dikembangkan konsep kemampuan untuk menguasai konsep hakikat keilmuan dan mempergunakan konsep tersebut untuk membedakan ilmu terhadap cabang pengetahuan lain. Kita harus meletakkan ilmu dalam perspektif yang benar di tengah perspektif pengetahuan secara keseluruhan. Dengan demikian akan terbuka kemungkinan untuk menganalisis kaitan ilmu dengan pengetahuan lain seperti moral dan humaniora. Pendekatan ini akan menghasilkan ilmuwan yang mempunyai keahlian tetapi juga makhluk berbudaya yang berkepribadian luhur.
Menurut van Peursen, skema pemikiran manusia
1. Mitis
Dalam tahap mitis, apa yang disebut kebenaran atau kenyataan adalah sesuatu yang given, mistis, dan tidak perlu dipikirkan
2. Ontologis
Dalam hal ontologis, manusia atau masyarakat mandambakan kebenaran substansial
3. Fungsional
Kebenaran atau kenyataan diletakkan pada fungsi atau relasi kemamfaatannya. Manusia memamfaatkan segala yang ada di sekitar.
Tiga kategori pengetahuan
1. Pengetahuan tentang apa yang baik dan buruk
2. Pengetahuan tentang yang baik dan buruk (estetika)
3. Pengetahuan tentang yang baik dan salah (logika)
Tiga ciri pembeda pengetahuan
1. Tentang apa (entologi)
2. Bagaimana (epistemologi)
3. Untuk apa (aksiologi)
Kebenaran
Apa yang disebut benar bagi setiap orang adalah tidak sama. Proses berpikir manusia mempunyai tiga criteria kebenaran.
1. Koherensi (utuh)
Merupakan teori kebenaran yang mendasarkan diri kepada kriteria tentang suatu argumentasi
2. Korespondensi
Merupakan teori kebenaran yang mendasarkan diri kepada kriteria tentang kesesuaian antara materi yang dikandung oleh suatu pernyataan dengan objek yang dikenai pernyataan
3. Pragmatisme
Merupakan teori kebenaran yang mendasarkan diri kepada kriteria tentang berfungsi atau tidaknya suatu pernyataan dalam lingkup ruang dan waktu tertentu.
Rabu, 11 November 2009
Kritik Sastra
Kritik sastra yaitu penilaian yang dilakukan untuk mengetahui baik buruknya suatu hasil karya sastra.
Kegiatan kritik sastra lebih tua dari istilah kritik sastra.
Alasannya,
Xenophanes dan Heraditus (500 SM) mengecam keras pujangga besar Homerus yang gemar mengisahkan cerita-cerita tidak senonoh serta bohong tentang dewi-dewi.
Oleh Plato, peristiwa tersebut dinamakan Pertentangan purba antara puisi dan filsafat.
Aristophanes (450 SM) lewat karya Katak-Katak mengadakan kritik terhadap penyair Tragedi Euripides yang terlampau menjunjung tinggi nilai kesenian dan kurang memerhatikan nilai-nilai social yang justru dijunjung tinggi oleh penyair tragedi terdahulunya, Aeschylus.
Menurut Plato, ada tiga unsur dalam karya yang baik.
a. Memberi ajaran moral yang lebih tinggi,
b. Memberi kenikmatan,
c. Ketepatan dalam wujud pengungkapan.
Istilah kritik sastra berasal dari kata Krites (hakim), sebab kata benda itu berasal dari kata kerja Krinein (menghakimi), juga pangkal kata benda Kriterian (dasar menghakimi).
Kritik sastra (Wellek dan Warren) merupakan studi sastra yang langsung berhadapan dengan karya sastra, secara langsung membicarakan karya sastra dengan penekanan pada penilaian.
H.B. Jassin, pertimbangan baik buruknya karya sastra penerangan dan penghakiman karya sastra.
Tarigan, pengamatan yang teliti, perbandingan yang tepat serta pertimbangan yang adil terhadap baik buruknya kualitas, nilai kebenaran suatu karya sastra.
Hardjana, sebagai hasil usaha pembaca dalam mencari dan menemukan nilai hakiki karya sastra lewat pemahaman dan penafsiran sistematika yang dinyatakan dalam bentuk tertulis.
Kritikus harus benar-benar menaruh minat pada karya sastra, terlatih kepekaan citanya dan mendalami sastra, menilai tinggi pengalaman yang berhubungan dengan masalah kehidupan dan kemanusiaan lewat penghayatan kehidupan secara intensif, implementatif, maupun dengan membaca buku-buku yang berhubungan dengan masalah-masalah humanitas, dan lain-lain.
Graham Hough (dalam Pradopo), kritik sastra itu bukan hanya terbatas pada penyuntingan dan penetapan teks, intepretasi, dan pertimbangan nilai, melainkan meliputi masalah yang lebih luas tentang apakah kesusasteraan, untuk apa, dan bagaimana hubungannya dengan masalah-masalah kemanusiaan yang lain.
UNSUR YANG HARUS ADA DALAM MENDEFINISI PENGERTIAN KRITIK SASTRA.
1. Kritikus adalah orang yang memiliki kemampuan dalam menilai karya sastra secara objektif. Memberi penilaian terhadap karya sastra merupakan kegiatan yang sering ia lakukan. Oleh karena itu, kritikus selalu menjadi tempat untuk berkonsultasi atau menjadi bumerang bagi para sastrawan. Hasil kerjanya akan menjadi masukan bagi penulis dalam mengembangkan profesinya.
Pengkritik adalah orang yang melakukan penilaian baik buruknya karya sastra secara objektif. Penilaian terhadap karya sastra yang ia lakukan mungkin karena perintah atau tugas.
2. Karya sastra
Karya sastralah yang menjadi objek penilaian. Karya sastra yang bermutu merupakan penemuan (lain dari yang lain), merupakan ekpresi sastrawannya, pekat (kepadatan isi dan bentuk, bahasa, dan ekpresi), dan penafsiran kehidupan sebuah pembaharuan.
3. Objektif
Orang yang melakukan penilaian terhadap karya sastra harus bersifat objektif. Apabia dia gagal mempertahankan sifat objektifnya, maka hasil kritiknya akan berat sebelah. Ia akan memihak (menilai baik, memuji) kepada penulisnya apabila ia senang atau ada faktor lainnya, sebaliknya ia akan menilai jelek karya sastra yang dikajinya apabila ia kurang simpatikkepada penulisnya.
4. Hasil
Kemampuan kritikus atau pengkritik dapat diketahui setelah ia selesai mengerjakan tugasnya. Hasil merupakan bukti seorang kritikus atau pengkritik. Mereka dapat dikatakan baik terbukti dari pekerjaan yang telah mereka lakukan.
ILMU SASTRA
a. Teori sastra (bidang teori)
Penyelidikan yang berhubungan dengan, apakah sastra itu, apa hakikat sastra, dasar-dasar sastra, bermacam-macam gaya, teori komposisi sastra, jenis-jenis sastra, teori penilaian, dan lain-lain yang berhubungan dengan teori sastra.
b. Sejarah sastra
Bertugas menyusun perkembangan sastra dari mulai tumbuhnya suatu kesusasteraan, sejarah jenis sastra, sejarah perkembangan gaya-gaya sastra, sejarah perkembangan pikiran manusia dalam sastra.
c. Kritik sastra
Ilmu sastra yang berusaha menyelidiki sastra dengan cara langsung menganalisis, memberi pertimbangan baik buruknya karya sastra, bernilai seni atau tidak.
BAGAIMANAKAH HUBUNGAN TEORI SASTRA, SEJARAH SASTRA, DAN KRITIK SASTRA?
Menilai karya sastra diperlukan teori tentang penilaian sastra yang baik, syarat-syarat apakah yang harus dipenuhioleh suatu karya sastra supaya dapat bernilai sastradan sebaliknya sastra yang kurang bernilai sastra (ini termasuk dalam teori sastra),
Teori sastra juga memerlukan bantuan kritik sastra, misalnya untuk menyusun teori tentang gaya atau teknik cerita, teori sastra dapat mengambil dari hasil kritik terhadap karya sastra.
Untuk menyusun sejarah sastra diperlukan teori sastra, misalnya teori tentang sejarah sastra, teori tentang angkatan, misalnya bagaimana menggolongkan karya sastra ke dalam suatu periode atau menyusun periode sastra.
Teori sastra juga memerlukan sejarah sastra, misalnya untuk menyusun teori tentang angkatan, kita harus melihat penimbangan kesusasteraan.
Sejarah sastra juga memberi sumbangannya kepada kritik sastra. Untuk mengetahui ciptaan asli atau tidak, gaya/klise atau bukan. Sebaliknya, untuk menyusun sejarah sastra diperlukan kritik sastra. Karya sastra tidak dapat dimasukkan ke dalam sejarah sastra jika tidak bernilai sastra. Untuk menentukan bernilai atau tidaknya, diperlukan kritik sastra.
APAKAH KEGUNAAN KRITIK SASTRA
a. Ilmu sastra, kritikus dapat memberikan sumbangannya yang penting. Dalam penyusunan teori sastra perlu mengambil hasil yang dicapai kritik sastra.
b. Sastrawan, kritik sastra dapat berguna bagi para sastrawan. Sastrawan dapat melihat karya sastra yang bernilai baik dan kurang baik.
c. Pembaca, kritik sastra sangat membantu pembaca dalam memahami karya sastra.
\
APA KELEMAHAN ADANYA KRITIK SASTRA?
1. Kritik sastra yang hanya memfokuskan pada satu aspek akan mengurangi hasil kritikannya,
2. Karya sastra hanya menjadi objek penyelidikan, kehilangan rasa dan artinya,
3. Orang sering membaca hasil kritik sastra, akibatnya tidak membaca naskah aslinya,
4. Kritik sastra menyebabkan kita memandang karya sastra dengan kacamata kritikus dan pikiran kita dikuasai oleh kritikus.
TUGAS POKOK KRITIKUS SASTRA (SPINGARN, DALAM SHIPLEY, 1962)
1. Apakah yang hendak diekpresikan oleh sastrawan?
2. Berhasilkah dia mengekpresikan hal itu?
3. Apakah hal itu pantas diekpresikan?
TIGA ASPEK KRITIK SASTRA
1. Analisis
Penilaian terhadap karya sastra dilakukan untuk memahami sastra. Analisis merupakan satu di antara sarana penafsiran atau interpretasi
2. Interpretasi
Penafsiran terhadap karya sastra dengan memerhatikan aspek-aspek yang membangun karya sastra. Dalam arti sempitnya, penjelasan arti bahasa sastra dengan sarana analisis, parafrase, dan komentar, terutama pada ambiguitas/bahasa kias
3. Evaluasi/penilaian
Proses, cara, perbuatan menilai. Kedua aspek di atas termasuk ke dalam penilaian
Ketiga aktivitas kritik sastra tidak dapat dipisah-pisahkan dalam mengkritik karya sastra karena ketiganya saling erat hubungannya dan saling menentukan.
DUA CARA MENIKMATI DAN MEMAHAMI KARYA SASTRA
1. Barsatu dan berusaha menenggelamkan diri ke dalam karya sastra yang dianalisis. Kita harus dapat merasakan dan menikmati.
2. Menikmatinya secara sadar dengan memamfaatkan kaidah atau kriteria tertentu untuk menganalisis karya sastra, sehingga kita menilai secara objektif.
HARUS DIINGAT!
Sastra adalah karya seni yang menggunakan imajinasi pengarang
Ada struktur yang membangun sastra. Oleh karena itu, bersifat otonom
Ada nilai-nilai edukatif yang dapat diperoleh dalam sastra
Penilaian terhadap sastra hanya dapat dilakukan oleh seseorang yang mengetahui seluk beluk karya sastra. Ia harus mampu memamfaatkan berbagai pengetahuan tentang nilai dan seluk beluk karya sastra
Nilai sastra harus dapat dikembalikan kepada suatu prinsip, yaitu kemanusiaan. Sebab tidak ada seni untuk seni saja atau tidak ada ilmu untuk ilmu saja
PENDEKATAN KRITIK SASTRA
1. Mimetik
Memandang karya sastra sebagai tiruan atau pembayangan dunia kehidupan.
Plato: seni hanyalah tiruan alam yang nilainya jauh di bawah kenyataan dan ide
Aristoteles: tiruan itu justru membedakannya dari segala sesuatu yang nyata dan umum karena seni merupakan aktivitas manusia.
2. Pragmatik
Memandang makna karya sastra ditentukan oleh pembaca. Karya sastra dipandang sebagai karya seni yang berhasil apabila bermamfaat bagi pembacanya, seperti menyenangkan, memberi kenikmatan, dan mendidik.
3. Ekpresif
Memandang karya sastra sebagai pernyataan dunia batin pengarang yang bersangkutan. Segala gagasan, cita rasa, emosi, dan angan-angan merupakan dunia dalam pengarang. Maka, sastra merupakan dunia luar yang bersesuaian dengan dunia dalam itu. Dengan pendekatan ini, penilaian tertuju pada emosi atau jiwa pengarang, sehingga sastra merupakan sarana untuk memahami jiwa pengarang.
4. Objektif
Memandang sastra sebagai dunia otonom yang dapat dilepaskan siapa pengarang dan lingkungan social budaya zamannya, sehingga sastra dapat di analisis berdasarkan strukturnya sendiri.
JENIS KRITIK SASTRA
Berdasarkan bentuk:
a) Kritik sastra
Teoritis atau teori kritik, prinsip-prinsip kritik sebagai dasar pengkritikan karya sastra.
b) Kritik terapan
Berupa penerapan teori atau prinsip kritik sastra pada karya sastra.
Berdasarkan metode:
a) Kritik induktif
Kritik sastra yang menguraikan bagian-bagian atau unsure-unsur karya sastra berdasarkan fenomena-fenomenanya yang ada secara objektif.
b) Kritik yudisial
Kritik sastra yang berusaha menganalisis dan menerangkan aspek-aspek kaarya sastra berdasarkan pokoknya, organisasinya, dan teknik dan gaya. Kritik ini berdasarkan pertimbangan individual kritikus atas dasar standar umum tentang kehebatan karya sastra.
c) Kritik impresionistik
Kritik sastra yang berusaha dengan kata-kata mendapatkan sifat-sifat yang berasal dalam karya sastra dan mengekpresikan tanggapan-tanggapan kritikus yang ditimbulkan secara langsung oleh karya sastra tersebut. Kritik ini kadang bersifat subjektif.
Berdasarkan tipe:
a) Kritik mimetic
b) Kritik pragmatic
c) Kritik ekpresif
d) Kritik objektif
Kegiatan kritik sastra lebih tua dari istilah kritik sastra.
Alasannya,
Xenophanes dan Heraditus (500 SM) mengecam keras pujangga besar Homerus yang gemar mengisahkan cerita-cerita tidak senonoh serta bohong tentang dewi-dewi.
Oleh Plato, peristiwa tersebut dinamakan Pertentangan purba antara puisi dan filsafat.
Aristophanes (450 SM) lewat karya Katak-Katak mengadakan kritik terhadap penyair Tragedi Euripides yang terlampau menjunjung tinggi nilai kesenian dan kurang memerhatikan nilai-nilai social yang justru dijunjung tinggi oleh penyair tragedi terdahulunya, Aeschylus.
Menurut Plato, ada tiga unsur dalam karya yang baik.
a. Memberi ajaran moral yang lebih tinggi,
b. Memberi kenikmatan,
c. Ketepatan dalam wujud pengungkapan.
Istilah kritik sastra berasal dari kata Krites (hakim), sebab kata benda itu berasal dari kata kerja Krinein (menghakimi), juga pangkal kata benda Kriterian (dasar menghakimi).
Kritik sastra (Wellek dan Warren) merupakan studi sastra yang langsung berhadapan dengan karya sastra, secara langsung membicarakan karya sastra dengan penekanan pada penilaian.
H.B. Jassin, pertimbangan baik buruknya karya sastra penerangan dan penghakiman karya sastra.
Tarigan, pengamatan yang teliti, perbandingan yang tepat serta pertimbangan yang adil terhadap baik buruknya kualitas, nilai kebenaran suatu karya sastra.
Hardjana, sebagai hasil usaha pembaca dalam mencari dan menemukan nilai hakiki karya sastra lewat pemahaman dan penafsiran sistematika yang dinyatakan dalam bentuk tertulis.
Kritikus harus benar-benar menaruh minat pada karya sastra, terlatih kepekaan citanya dan mendalami sastra, menilai tinggi pengalaman yang berhubungan dengan masalah kehidupan dan kemanusiaan lewat penghayatan kehidupan secara intensif, implementatif, maupun dengan membaca buku-buku yang berhubungan dengan masalah-masalah humanitas, dan lain-lain.
Graham Hough (dalam Pradopo), kritik sastra itu bukan hanya terbatas pada penyuntingan dan penetapan teks, intepretasi, dan pertimbangan nilai, melainkan meliputi masalah yang lebih luas tentang apakah kesusasteraan, untuk apa, dan bagaimana hubungannya dengan masalah-masalah kemanusiaan yang lain.
UNSUR YANG HARUS ADA DALAM MENDEFINISI PENGERTIAN KRITIK SASTRA.
1. Kritikus adalah orang yang memiliki kemampuan dalam menilai karya sastra secara objektif. Memberi penilaian terhadap karya sastra merupakan kegiatan yang sering ia lakukan. Oleh karena itu, kritikus selalu menjadi tempat untuk berkonsultasi atau menjadi bumerang bagi para sastrawan. Hasil kerjanya akan menjadi masukan bagi penulis dalam mengembangkan profesinya.
Pengkritik adalah orang yang melakukan penilaian baik buruknya karya sastra secara objektif. Penilaian terhadap karya sastra yang ia lakukan mungkin karena perintah atau tugas.
2. Karya sastra
Karya sastralah yang menjadi objek penilaian. Karya sastra yang bermutu merupakan penemuan (lain dari yang lain), merupakan ekpresi sastrawannya, pekat (kepadatan isi dan bentuk, bahasa, dan ekpresi), dan penafsiran kehidupan sebuah pembaharuan.
3. Objektif
Orang yang melakukan penilaian terhadap karya sastra harus bersifat objektif. Apabia dia gagal mempertahankan sifat objektifnya, maka hasil kritiknya akan berat sebelah. Ia akan memihak (menilai baik, memuji) kepada penulisnya apabila ia senang atau ada faktor lainnya, sebaliknya ia akan menilai jelek karya sastra yang dikajinya apabila ia kurang simpatikkepada penulisnya.
4. Hasil
Kemampuan kritikus atau pengkritik dapat diketahui setelah ia selesai mengerjakan tugasnya. Hasil merupakan bukti seorang kritikus atau pengkritik. Mereka dapat dikatakan baik terbukti dari pekerjaan yang telah mereka lakukan.
ILMU SASTRA
a. Teori sastra (bidang teori)
Penyelidikan yang berhubungan dengan, apakah sastra itu, apa hakikat sastra, dasar-dasar sastra, bermacam-macam gaya, teori komposisi sastra, jenis-jenis sastra, teori penilaian, dan lain-lain yang berhubungan dengan teori sastra.
b. Sejarah sastra
Bertugas menyusun perkembangan sastra dari mulai tumbuhnya suatu kesusasteraan, sejarah jenis sastra, sejarah perkembangan gaya-gaya sastra, sejarah perkembangan pikiran manusia dalam sastra.
c. Kritik sastra
Ilmu sastra yang berusaha menyelidiki sastra dengan cara langsung menganalisis, memberi pertimbangan baik buruknya karya sastra, bernilai seni atau tidak.
BAGAIMANAKAH HUBUNGAN TEORI SASTRA, SEJARAH SASTRA, DAN KRITIK SASTRA?
Menilai karya sastra diperlukan teori tentang penilaian sastra yang baik, syarat-syarat apakah yang harus dipenuhioleh suatu karya sastra supaya dapat bernilai sastradan sebaliknya sastra yang kurang bernilai sastra (ini termasuk dalam teori sastra),
Teori sastra juga memerlukan bantuan kritik sastra, misalnya untuk menyusun teori tentang gaya atau teknik cerita, teori sastra dapat mengambil dari hasil kritik terhadap karya sastra.
Untuk menyusun sejarah sastra diperlukan teori sastra, misalnya teori tentang sejarah sastra, teori tentang angkatan, misalnya bagaimana menggolongkan karya sastra ke dalam suatu periode atau menyusun periode sastra.
Teori sastra juga memerlukan sejarah sastra, misalnya untuk menyusun teori tentang angkatan, kita harus melihat penimbangan kesusasteraan.
Sejarah sastra juga memberi sumbangannya kepada kritik sastra. Untuk mengetahui ciptaan asli atau tidak, gaya/klise atau bukan. Sebaliknya, untuk menyusun sejarah sastra diperlukan kritik sastra. Karya sastra tidak dapat dimasukkan ke dalam sejarah sastra jika tidak bernilai sastra. Untuk menentukan bernilai atau tidaknya, diperlukan kritik sastra.
APAKAH KEGUNAAN KRITIK SASTRA
a. Ilmu sastra, kritikus dapat memberikan sumbangannya yang penting. Dalam penyusunan teori sastra perlu mengambil hasil yang dicapai kritik sastra.
b. Sastrawan, kritik sastra dapat berguna bagi para sastrawan. Sastrawan dapat melihat karya sastra yang bernilai baik dan kurang baik.
c. Pembaca, kritik sastra sangat membantu pembaca dalam memahami karya sastra.
\
APA KELEMAHAN ADANYA KRITIK SASTRA?
1. Kritik sastra yang hanya memfokuskan pada satu aspek akan mengurangi hasil kritikannya,
2. Karya sastra hanya menjadi objek penyelidikan, kehilangan rasa dan artinya,
3. Orang sering membaca hasil kritik sastra, akibatnya tidak membaca naskah aslinya,
4. Kritik sastra menyebabkan kita memandang karya sastra dengan kacamata kritikus dan pikiran kita dikuasai oleh kritikus.
TUGAS POKOK KRITIKUS SASTRA (SPINGARN, DALAM SHIPLEY, 1962)
1. Apakah yang hendak diekpresikan oleh sastrawan?
2. Berhasilkah dia mengekpresikan hal itu?
3. Apakah hal itu pantas diekpresikan?
TIGA ASPEK KRITIK SASTRA
1. Analisis
Penilaian terhadap karya sastra dilakukan untuk memahami sastra. Analisis merupakan satu di antara sarana penafsiran atau interpretasi
2. Interpretasi
Penafsiran terhadap karya sastra dengan memerhatikan aspek-aspek yang membangun karya sastra. Dalam arti sempitnya, penjelasan arti bahasa sastra dengan sarana analisis, parafrase, dan komentar, terutama pada ambiguitas/bahasa kias
3. Evaluasi/penilaian
Proses, cara, perbuatan menilai. Kedua aspek di atas termasuk ke dalam penilaian
Ketiga aktivitas kritik sastra tidak dapat dipisah-pisahkan dalam mengkritik karya sastra karena ketiganya saling erat hubungannya dan saling menentukan.
DUA CARA MENIKMATI DAN MEMAHAMI KARYA SASTRA
1. Barsatu dan berusaha menenggelamkan diri ke dalam karya sastra yang dianalisis. Kita harus dapat merasakan dan menikmati.
2. Menikmatinya secara sadar dengan memamfaatkan kaidah atau kriteria tertentu untuk menganalisis karya sastra, sehingga kita menilai secara objektif.
HARUS DIINGAT!
Sastra adalah karya seni yang menggunakan imajinasi pengarang
Ada struktur yang membangun sastra. Oleh karena itu, bersifat otonom
Ada nilai-nilai edukatif yang dapat diperoleh dalam sastra
Penilaian terhadap sastra hanya dapat dilakukan oleh seseorang yang mengetahui seluk beluk karya sastra. Ia harus mampu memamfaatkan berbagai pengetahuan tentang nilai dan seluk beluk karya sastra
Nilai sastra harus dapat dikembalikan kepada suatu prinsip, yaitu kemanusiaan. Sebab tidak ada seni untuk seni saja atau tidak ada ilmu untuk ilmu saja
PENDEKATAN KRITIK SASTRA
1. Mimetik
Memandang karya sastra sebagai tiruan atau pembayangan dunia kehidupan.
Plato: seni hanyalah tiruan alam yang nilainya jauh di bawah kenyataan dan ide
Aristoteles: tiruan itu justru membedakannya dari segala sesuatu yang nyata dan umum karena seni merupakan aktivitas manusia.
2. Pragmatik
Memandang makna karya sastra ditentukan oleh pembaca. Karya sastra dipandang sebagai karya seni yang berhasil apabila bermamfaat bagi pembacanya, seperti menyenangkan, memberi kenikmatan, dan mendidik.
3. Ekpresif
Memandang karya sastra sebagai pernyataan dunia batin pengarang yang bersangkutan. Segala gagasan, cita rasa, emosi, dan angan-angan merupakan dunia dalam pengarang. Maka, sastra merupakan dunia luar yang bersesuaian dengan dunia dalam itu. Dengan pendekatan ini, penilaian tertuju pada emosi atau jiwa pengarang, sehingga sastra merupakan sarana untuk memahami jiwa pengarang.
4. Objektif
Memandang sastra sebagai dunia otonom yang dapat dilepaskan siapa pengarang dan lingkungan social budaya zamannya, sehingga sastra dapat di analisis berdasarkan strukturnya sendiri.
JENIS KRITIK SASTRA
Berdasarkan bentuk:
a) Kritik sastra
Teoritis atau teori kritik, prinsip-prinsip kritik sebagai dasar pengkritikan karya sastra.
b) Kritik terapan
Berupa penerapan teori atau prinsip kritik sastra pada karya sastra.
Berdasarkan metode:
a) Kritik induktif
Kritik sastra yang menguraikan bagian-bagian atau unsure-unsur karya sastra berdasarkan fenomena-fenomenanya yang ada secara objektif.
b) Kritik yudisial
Kritik sastra yang berusaha menganalisis dan menerangkan aspek-aspek kaarya sastra berdasarkan pokoknya, organisasinya, dan teknik dan gaya. Kritik ini berdasarkan pertimbangan individual kritikus atas dasar standar umum tentang kehebatan karya sastra.
c) Kritik impresionistik
Kritik sastra yang berusaha dengan kata-kata mendapatkan sifat-sifat yang berasal dalam karya sastra dan mengekpresikan tanggapan-tanggapan kritikus yang ditimbulkan secara langsung oleh karya sastra tersebut. Kritik ini kadang bersifat subjektif.
Berdasarkan tipe:
a) Kritik mimetic
b) Kritik pragmatic
c) Kritik ekpresif
d) Kritik objektif
Selasa, 10 November 2009
PENDEKATAN TES BAHASA
Tes bahasa merupakan bagian dari ilmu bahasa atau linguistik, yaitu ilmu yang mempelajari seluk beluk bahasa. Kajian tes bahasa dapat bersifat umum seperti yang dilakukan dalam linguistik umum yang membahas masalah-masalah umum seperti latar belakang dan sasaran kajian bahasa. Kajian bahasa dapat pula bersifat ilmiah, teoritis, dan rinci seperti yang dilakukan dalam linguistik murni atau linguistik teoretis yang menyajikan kajian-kajian tentang seluk beluk tata bahasa transformasi, atau aspek tertentu dari bahasa seperti kajian tentang makna dalam kajian semantik dan kajian dari sudut pandang psikologi dalam psikolinguistik dan lain-lain.
Tes bahasa merupakan bagian dari keseluruhan penyelenggaraan pembelajaran bahasa, khususnya sebagai bagian dari komponen ke-3, yaitu evaluasi hasil pembelajaran. Dalam kedudukan tersebut, tes bahasa mempunyai kaitan yang sangat erat dengan komponen-komponen lain dalam penyelenggaraan pembelajaran bahasa, terutama komponen pembelajaran yang mendasarinya, yaitu kegiatan pembelajaran. Hal serupa berlaku juga sebaliknya terhadap komponen kegiatan pembelajaran itu sendiri yang seharusnya amat erat kaitannya dengan komponen tujuan pembelajaran yang mendasarinya.
Secara umum pandangan terhadap bahasa menentukan dan mendasari bagaimana pembelajaran bahasa diselenggarankan dan pembelajaran bahasa yang diselenggarakan menentukan tes bahasanya diselenggarakan. Dengan kata lain, pendekatan terhadap bahasa menentukan pendekatan pembelajaran bahasa, dan pendekatan pembelajaran bahasa menentukan pendekatan dalam penyelenggaraan tesnya. Dalam kajian bahasa dikenal ada berbagai cara pandang dan unsur yang dianggap penting oleh ahli yang berbeda atau tahap perkembangan ilmu pengetahuan yang berbeda. Perbedaan cara pandang tersebut dapat dikenali dan ditelusuri keberadaannya pada berbagai cabang kajian bahasa, termasuk tes bahasa, dalam bentuk (1) Pendekatan Tradisional, (2) Pendekatan Diskert, (3) Pendekatan Integratif, (4) Pendekatan Pragmatik, dan (5) Pendekatan Komunikatif.
1. PENDEKATAN TRADISIONAL
Pendekatan tradisional dalam tes bahasa dikaitkan dengan bentuk pembelajaran bahasa yang tradisional (konvensional) yang banyak digunakan pada kurun waktu ketika belum cukup banyak pembelajaran yang pengembangan dan penyelenggaraannya didasarkan atas kajianyang memadaiterhadap seluk beluk bahasa. Dalam pendekatan tradisional pembelajaran bahasa diselenggarakan sekedar untuk kebutuhan terbatas tertentu seperti; berkomunikasi secara lisan dan terbatas dan dititik beratkan pada ketatabahasaan. Banyak diantaranya hanya menekankan pada kemampuan menerjemahkan dari suatu bahasa ke dalam bahasa lainnya.
Penyelenggaraan tes dalam penyelenggaraan pembelajaran secara tradisional itu dilakukan juga secara tradisional tanpa menggunakan suatu teori bahasa tertentu sebagai dasar. Dalam penyelenggaran tes bahasa dengan pendekatan tradisional ini tidak terdapat rambu-rambu yang jelas atau baku tentang jenis kemampuan bahasa yang dijadikan sasaran, cara bagaiman tes itu diselenggarakan, dan bahkan cara bagaimana pekerjaan siswa itu dinilai. Semuanya terpulang pada penyusun dan penyelenggara tes. Kadangkala tes bahasa itu terdiri dari tugas untuk sekedar menerjemahkan suatu teks yang ditulis dalam bahasa yang sedang dipelajari ke dalam bahasa pertama. Oleh sebab itu pendekatan tradisionalsering disebut sebagai pendekatan terjemahan.
Dalam pendekatan ini penyelenggaraan tes bahasa banyak diwarnai dengan berbagai bentuk subjektifitas dalam hal pemilihan kemampuan bahasa yang dijadikan sasaran, pemilihan dan penetapan bahan dan isi tes, serta cara penilaian peserta tes. Oleh karena itu, pendekatan tes bahasa ini seringkali disebut tes pendekatan bahasa pra-ilmiah.
2. PENDEKATAN DISKRET
Dalam pandangan ilmu bahasa struktural, bahasa dipahami sebagai sesuatu yang memiliki struktur yang demikian rapi seperti suatu bangunan buatan manusia. Dalam pandangan bahasa struktural ini, wacana sebagai wujud penggunaan bahasa yang luas cakupannya, dipahami sebagai suatu yang terdiri dan tersusun dari wacana yang lebih kecil dalam bentuk paragrafdan kalimat. Kalimat dipahami sebagai terdiri dari frasa. Frasa terdiri dari kata-katak. Kata-kata terdiri dari suku kata. Suku kata terdiri dari morfem. Morfem terdiri dari alomorf. Alomorf terdiri dari fonem, dan demikian seterusnya. Pendekkata menurut pandangan struktural setiab bagian dari bahasa itu dapat dipisah-pisahkan menjadi bagian yang lebih kecil. Demikian juga dengan berbagai aspek kebahasaan( tata bahasa).
Sebagai bagian dari penerapan kajian ilmu bahasa struktural, bahasa dalam tes bahasa diskret dipahami sebagai sesuatu yang berstruktur dan terdiri dari bagian-bagian yang bersama-sama membentuk suatu entitas yang disebut bahasa. Bagian-bagian bahasa sampai yang terkecil itu dapat diidentifikasi secara terpisah dan tersendiri atau diskret, baik dalam pelaksanaan pembelajaran maupun penyelenggaraan tes yang diskret (discrate-point testing). Dalam tes pendekatan diskret, satu butir tes dimaksudkan untuk mengukur hanya satu unsur komponen bahasa. Tes bahasa yang diskret terdiri dari butir-butir tes yang, yang secara terpisah di luar konteks, menugaskan peserta tes untuk membedakan satu bunyi bahasa dari bunyi bahasa yang lain ( misalnya konsonan δ dan ė), melafalkan satu bunyi bahasa tertentu (misalnya vokal æ dan å), menyebutkan lawan kata dari satu kata tertentu (menang atau kalah), bentuk jamak daru suatu kata benda ( bentuk jamak dari rumah adalah rumah-rumah), dan lain-lain. Dewasa ini penerapan pendekatan diskret dalam penyelenggaraan tes tidak banyak ditemukan, terutama karena validitas yang dipersoalkan maupun nilai kepraktisan dan tingkat kebutuhannya. Penerapan tes bahasa atas dasar pendekatan diskret ini mungkin masih dapat dipahami dan ditemukan pada sejumlah bentuk pembelajaran bahasa oleh calon pengajar bahasa, khususnya bahasa asing.
Pendekatan diskret ini diterapkan atas dasar konvensional terhadap keempat aspek kebahasaan (menyimak, membaca, menulis, berbicara) dan empat komponen bahasa (bunyi bahasa, struktur bahasa, kosakata, dan kelancaran bahasa). [ lihat tabel 2.1].
3. PENDEKATAN INTEGRATIF
Pendekatan integratif lebih sesuai dengan kebutuhan nyata di mana kemampuan dan unsur bahasa pada umumnya tidak diperlakukan secara terpisah-pisah. Dalam penggunaan bahasa senyatanya kemampuan dan unsur bahasa digunakan dalam wacana yang merupakan gabungan dari beberapa jenis kemampuan atau unsur bahasa. Bila dalam pendekatan diskert bahasa seolah-olah dipisahkan menjadi bagian-bagian yang lebih kecil sampai pada bagian terkecil, pendekatan integratif dapat dipandang sebagai penyatuan bagian-bagian itu kembali menjadi lebih utuh. Seberapa lebih utuh penggabungan itu tergantung pada berapa banyak bagian kemampuan dan komponen bahasa yang perlu saling digabungkan untuk menjawab butir-butir tes yang diselenggarakan.
Butir tes kosakata seperti “baik x …….” (dibaca: lawan kata baik adalah…..) pada dasarnya bersifat diskert karena digunakan secara lepas. Jika pernyataan yang sama itu dikemas dalam kalimat “orang itu sangat baik, sedangkan saudaranya…...), bitur tes yang semula diskert berubah menjadi integratif karena digunakan dalam kaitannya dalam unsur-unsur bahasa lain. Dalam hal itu, kemampuan menemukan jawaban berupa kata jahat tidak semata-mata dimungkinkan oleh pengetahuan tentang kosakata baik dan jahat, tetapi dipermudah oleh pengetahuan tentang kosakata orang itu dan saudaranya. Tercermin bahwa kemampuan menjawab butir tes tersebut tidak sekedar mengandalkan penguasaan unsur kosakata, melainkan melibatkan pula penguasaan unsur bahasa lain, yaitu susunan kata-kata yang merupakan bagian dari tata bahasa.
Ciri pendekatan integratif yang melibatkan lebih dari satu unsur merupakan penggabungan lebih dari satu jenis kemampuan atau komponen bahasa. Pada penggunaan bahasa senyatanya, termasuk dalam mengerjakan tes, penggabungan unsur bahasa pada pendekatan integratif bahkan dapat bersifat jauh lebih luas dan menyeluruh, menyangkut penggunaan bahasa dalam komunikasi secara keseluruhan.
4. PENDEKATAN PRAGMATIK
Pendekatan pragmatik awalnya digunakan dalam kaitannya dengan teori tentang kemampuan memahami berdasarkan kemampuan tata bahasa pragmatik ( pragmatik expectancy grammar), atau kemampuan pragmatik. Kemampuan itu merupakan kemampuan untuk memahami teks atau wacana, tidak hanya dalam konteks linguistik melainkan juga dengan memanfaatkan kemampuan pemahaman unsur-unsur ekstra linguistik. Dalam memahami wacana, seseorang tidak saja mengandalkan kemampuan linguistikdalam bentuk pemahaman terhadap bentuk dan susunan kalimat, frasa, kata-kata, dan unsur linguistik lain yang secara eksplisit terdapat dalam penggunaan bahasa. Pemahaman yang lebih dalam terdapat dalam konteks ekstra linguistik (exstralinguistic context), yaitu aspek-aspek pemahaman bahasa di luar apa yang diungkapkan secara eksplisit melalui bahasa, dan yang meliputi segala sesuatu dalam bentuk kejadian, pikiran, antar hubungan, perasaan, persepsi, ingatan, dan lain-lain.
Kemampuan pemahaman yang diharapkan dapat disadap dalam tes pragmatik, yang definisinya sebagai berikut :
Prosedur atau tugas yang menuntut pembelajaran untuk mencoba memahami rangkaian elemen bahasa, yang tersusun dalam bentuk penggunaan bahasa dengan berbagai kendala kontekstual yang secara alamiah dan wajar terdapat dalam penggunaan bahasa, sehingga mengharuskan peserta tes untuk mengaitkan rangkaian elemen bahasa itu dengan konteks di luar bahasa melalui pemetaan pragmatik.
Kendala alamiah yang terdapat dalam suatu wacana pragmatik mengharuskan pembaca (atau pendengar) untuk;
- mengolah dan memahami wacana itu dengan segala macam kendala, yang bersifat linguistik maupun ekstralinguistik, yang secara alamiah selalu mewarnai setiap wacana yang diungkapkan,
- memahami hubungan-hubungan pragmatik antara konteks linguistik dan ekstralinguistik.
Dalam hal itu kendala yang bersifat linguistik berupa kurangnya pemahaman terhadap susunan wacana, tata bahasa, atau kata-kata yang digunakan dalam wacana. Sedangkan kendala ekstralinguistik berupa kurangnya pemahaman terhadap aspek-aspek diluar linguistik dalam bentuk abstraksi pengalaman hidup yang diperlukan untuk memahami isi wacana yang tengah dihadapi.
Penerapan pendekatan pragmatik dalam tes bahasa peling sering dikaitkan dengan tes cloze, disamping dikte. Pada tahap ini beberapa ciri khas tes cloze dapat digunakan sebagai sarana untuk mendeskripsikan ciri-ciri tes pragmatik seperti disebutkan di atas. Pada umumnya tes cloze terdiri dari teks bacaan sepanjang kira-kira 400-500 kata. Kemudian ada beberapa kata yang dihapus. Kemampuan untuk menemukan dan menuliskan kata-kata yang sama dihapus berdasarkan teks yang masih tertinggal tersebut, ditafsirkan sebagai ceminan dari kemampuan untuk memahami teks secara keseluruhan berdasarkan kemampuan pragmatik yang meliputi kemampuan memahami bacaan, susunan bacaan, tata bahasa, dan kosa kata (kemampuan linguistik), serta pengetahuan tentang seluk-beluk bidang yang dibahas dalam teks bacaan ( kemampuan ekstralinguistik ).
5. PENDEKATAN KOMUNIKATIF
Pendekatan komunikatif dapat dipahami sebagai pengembangan dari pendekatan pragmatik dengan cakupan yang jauh lebih luas, lebih beragam dan lebih kompleks. Pendekatan komunikatif terhadap bahasa terkait juga dengan gagasan tentang konteks ekstra linguisitik seperti halnya dalam pendekatan pragmatik, namun dengan cakupan yang lebih lengkap dan lebih luas, karena bertitik tolak dari komunikasi sebagai fungsi utama dalam penggunaan bahasa. Pendekatan komunikatif menjangkau cakupan yang lebih luas dengan menelaah penggunaan dan pemahaman bahasa dari fungsi utamanya, yaitu melakukan komunikasi dengan mengandalkan penggunaan kemampuan komunikatif.
Adapun kemampuan komunikatif itu mula-mula dipahami antara lain sebagai:
Kemampuan untuk memahami atau mengungkapkan apa yang sudah atau yang perlu diungkapkan, dengan menggunakan berbagai unsur bahasa yang terdapat di semua bahasa, dalam memhami ungkapan-ungkapan yang ada secara luwes dan disesuaikan dengan perubahan yang senantiasa timbul tidak semata-mata berdasarkan nilai-nilai konvensional yang sudah baku.
Bertitik tolak dari definisi yang tidak mudah dipahami itu, pemahaman terhadap kemampuan komunikatif itu lebih lanjut dijabarkan sebagai terdiri dari penguasaan terhadap tiga komoponen utama, masing-masing adalah
1) Kemampuan bahasa(language competen), yang meliputi berbagai unsur bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi lewat bahasa, termasuk struktur, kosakata, prosodi, makna.
2)Kemampuan strategis (strategic competen), yaitu kemampuan untuk menerapkan dan memanfaatkan komponen-komponen kemampuan bahasa dalam berkomunikasi lewat bahasa senyatanya, dan
3) Mekanisme psiko-fisiologis ( psychophysiological mwchaism), yaitu proses psikis dan neurologis yang digunakan dalam berkomunikasi lewat bahasa.
Untuk mempermudahkan dalam memahaminya maka didefinisikan kemampuan komunikatif yaitu suatu kemampuan untuk menggunakan bahasa sesuai dengan situasi nyata, baik secara riseftif maupun secara produktif(ability to use appriately, both receptively and productively in real situtions).
Penerapan kemampuan komunikatif pada tes bahasa komunikatif didasarkan pada rincian rumusan yang banyak digunakan, yang memhami kemampuan komunikatif itu sebagai terdiri dari kemampuan linguistik (linguistc competence), kemampuan wacana (discourse competence), dam kemampuan strategis(strategic competence). Di tengah berbagai upaya untuk memahami dan mendefinisikan kemampuan komunikatif yang masih dalam perkembangan itu, kemampuan komunkatif yang dimaknai sebagai upaya untuk menggunakan kemampuan linguistik yang cocok dengan situasi nyata kiranya dapat digunakan. Secara umum tes bahasa komunikatif adalah tes yang mengedepankan penggunaan kemampuan komunikatif, yang tidak mengedepankan pengetahuan gramatikal. Secara umum pula tes bahasa komnikatif merupakan tes yang pengembangan dan penggunaannya didasarkan atas penerapan teori kemampuan bahasa komunikatif, meskipun bentuknya tergantung pada dimensi mana yang perlu diutamakan seperti kontek, keaslian(authenticity), atau simulasi bahasanya.
Tes bahasa merupakan bagian dari keseluruhan penyelenggaraan pembelajaran bahasa, khususnya sebagai bagian dari komponen ke-3, yaitu evaluasi hasil pembelajaran. Dalam kedudukan tersebut, tes bahasa mempunyai kaitan yang sangat erat dengan komponen-komponen lain dalam penyelenggaraan pembelajaran bahasa, terutama komponen pembelajaran yang mendasarinya, yaitu kegiatan pembelajaran. Hal serupa berlaku juga sebaliknya terhadap komponen kegiatan pembelajaran itu sendiri yang seharusnya amat erat kaitannya dengan komponen tujuan pembelajaran yang mendasarinya.
Secara umum pandangan terhadap bahasa menentukan dan mendasari bagaimana pembelajaran bahasa diselenggarankan dan pembelajaran bahasa yang diselenggarakan menentukan tes bahasanya diselenggarakan. Dengan kata lain, pendekatan terhadap bahasa menentukan pendekatan pembelajaran bahasa, dan pendekatan pembelajaran bahasa menentukan pendekatan dalam penyelenggaraan tesnya. Dalam kajian bahasa dikenal ada berbagai cara pandang dan unsur yang dianggap penting oleh ahli yang berbeda atau tahap perkembangan ilmu pengetahuan yang berbeda. Perbedaan cara pandang tersebut dapat dikenali dan ditelusuri keberadaannya pada berbagai cabang kajian bahasa, termasuk tes bahasa, dalam bentuk (1) Pendekatan Tradisional, (2) Pendekatan Diskert, (3) Pendekatan Integratif, (4) Pendekatan Pragmatik, dan (5) Pendekatan Komunikatif.
1. PENDEKATAN TRADISIONAL
Pendekatan tradisional dalam tes bahasa dikaitkan dengan bentuk pembelajaran bahasa yang tradisional (konvensional) yang banyak digunakan pada kurun waktu ketika belum cukup banyak pembelajaran yang pengembangan dan penyelenggaraannya didasarkan atas kajianyang memadaiterhadap seluk beluk bahasa. Dalam pendekatan tradisional pembelajaran bahasa diselenggarakan sekedar untuk kebutuhan terbatas tertentu seperti; berkomunikasi secara lisan dan terbatas dan dititik beratkan pada ketatabahasaan. Banyak diantaranya hanya menekankan pada kemampuan menerjemahkan dari suatu bahasa ke dalam bahasa lainnya.
Penyelenggaraan tes dalam penyelenggaraan pembelajaran secara tradisional itu dilakukan juga secara tradisional tanpa menggunakan suatu teori bahasa tertentu sebagai dasar. Dalam penyelenggaran tes bahasa dengan pendekatan tradisional ini tidak terdapat rambu-rambu yang jelas atau baku tentang jenis kemampuan bahasa yang dijadikan sasaran, cara bagaiman tes itu diselenggarakan, dan bahkan cara bagaimana pekerjaan siswa itu dinilai. Semuanya terpulang pada penyusun dan penyelenggara tes. Kadangkala tes bahasa itu terdiri dari tugas untuk sekedar menerjemahkan suatu teks yang ditulis dalam bahasa yang sedang dipelajari ke dalam bahasa pertama. Oleh sebab itu pendekatan tradisionalsering disebut sebagai pendekatan terjemahan.
Dalam pendekatan ini penyelenggaraan tes bahasa banyak diwarnai dengan berbagai bentuk subjektifitas dalam hal pemilihan kemampuan bahasa yang dijadikan sasaran, pemilihan dan penetapan bahan dan isi tes, serta cara penilaian peserta tes. Oleh karena itu, pendekatan tes bahasa ini seringkali disebut tes pendekatan bahasa pra-ilmiah.
2. PENDEKATAN DISKRET
Dalam pandangan ilmu bahasa struktural, bahasa dipahami sebagai sesuatu yang memiliki struktur yang demikian rapi seperti suatu bangunan buatan manusia. Dalam pandangan bahasa struktural ini, wacana sebagai wujud penggunaan bahasa yang luas cakupannya, dipahami sebagai suatu yang terdiri dan tersusun dari wacana yang lebih kecil dalam bentuk paragrafdan kalimat. Kalimat dipahami sebagai terdiri dari frasa. Frasa terdiri dari kata-katak. Kata-kata terdiri dari suku kata. Suku kata terdiri dari morfem. Morfem terdiri dari alomorf. Alomorf terdiri dari fonem, dan demikian seterusnya. Pendekkata menurut pandangan struktural setiab bagian dari bahasa itu dapat dipisah-pisahkan menjadi bagian yang lebih kecil. Demikian juga dengan berbagai aspek kebahasaan( tata bahasa).
Sebagai bagian dari penerapan kajian ilmu bahasa struktural, bahasa dalam tes bahasa diskret dipahami sebagai sesuatu yang berstruktur dan terdiri dari bagian-bagian yang bersama-sama membentuk suatu entitas yang disebut bahasa. Bagian-bagian bahasa sampai yang terkecil itu dapat diidentifikasi secara terpisah dan tersendiri atau diskret, baik dalam pelaksanaan pembelajaran maupun penyelenggaraan tes yang diskret (discrate-point testing). Dalam tes pendekatan diskret, satu butir tes dimaksudkan untuk mengukur hanya satu unsur komponen bahasa. Tes bahasa yang diskret terdiri dari butir-butir tes yang, yang secara terpisah di luar konteks, menugaskan peserta tes untuk membedakan satu bunyi bahasa dari bunyi bahasa yang lain ( misalnya konsonan δ dan ė), melafalkan satu bunyi bahasa tertentu (misalnya vokal æ dan å), menyebutkan lawan kata dari satu kata tertentu (menang atau kalah), bentuk jamak daru suatu kata benda ( bentuk jamak dari rumah adalah rumah-rumah), dan lain-lain. Dewasa ini penerapan pendekatan diskret dalam penyelenggaraan tes tidak banyak ditemukan, terutama karena validitas yang dipersoalkan maupun nilai kepraktisan dan tingkat kebutuhannya. Penerapan tes bahasa atas dasar pendekatan diskret ini mungkin masih dapat dipahami dan ditemukan pada sejumlah bentuk pembelajaran bahasa oleh calon pengajar bahasa, khususnya bahasa asing.
Pendekatan diskret ini diterapkan atas dasar konvensional terhadap keempat aspek kebahasaan (menyimak, membaca, menulis, berbicara) dan empat komponen bahasa (bunyi bahasa, struktur bahasa, kosakata, dan kelancaran bahasa). [ lihat tabel 2.1].
3. PENDEKATAN INTEGRATIF
Pendekatan integratif lebih sesuai dengan kebutuhan nyata di mana kemampuan dan unsur bahasa pada umumnya tidak diperlakukan secara terpisah-pisah. Dalam penggunaan bahasa senyatanya kemampuan dan unsur bahasa digunakan dalam wacana yang merupakan gabungan dari beberapa jenis kemampuan atau unsur bahasa. Bila dalam pendekatan diskert bahasa seolah-olah dipisahkan menjadi bagian-bagian yang lebih kecil sampai pada bagian terkecil, pendekatan integratif dapat dipandang sebagai penyatuan bagian-bagian itu kembali menjadi lebih utuh. Seberapa lebih utuh penggabungan itu tergantung pada berapa banyak bagian kemampuan dan komponen bahasa yang perlu saling digabungkan untuk menjawab butir-butir tes yang diselenggarakan.
Butir tes kosakata seperti “baik x …….” (dibaca: lawan kata baik adalah…..) pada dasarnya bersifat diskert karena digunakan secara lepas. Jika pernyataan yang sama itu dikemas dalam kalimat “orang itu sangat baik, sedangkan saudaranya…...), bitur tes yang semula diskert berubah menjadi integratif karena digunakan dalam kaitannya dalam unsur-unsur bahasa lain. Dalam hal itu, kemampuan menemukan jawaban berupa kata jahat tidak semata-mata dimungkinkan oleh pengetahuan tentang kosakata baik dan jahat, tetapi dipermudah oleh pengetahuan tentang kosakata orang itu dan saudaranya. Tercermin bahwa kemampuan menjawab butir tes tersebut tidak sekedar mengandalkan penguasaan unsur kosakata, melainkan melibatkan pula penguasaan unsur bahasa lain, yaitu susunan kata-kata yang merupakan bagian dari tata bahasa.
Ciri pendekatan integratif yang melibatkan lebih dari satu unsur merupakan penggabungan lebih dari satu jenis kemampuan atau komponen bahasa. Pada penggunaan bahasa senyatanya, termasuk dalam mengerjakan tes, penggabungan unsur bahasa pada pendekatan integratif bahkan dapat bersifat jauh lebih luas dan menyeluruh, menyangkut penggunaan bahasa dalam komunikasi secara keseluruhan.
4. PENDEKATAN PRAGMATIK
Pendekatan pragmatik awalnya digunakan dalam kaitannya dengan teori tentang kemampuan memahami berdasarkan kemampuan tata bahasa pragmatik ( pragmatik expectancy grammar), atau kemampuan pragmatik. Kemampuan itu merupakan kemampuan untuk memahami teks atau wacana, tidak hanya dalam konteks linguistik melainkan juga dengan memanfaatkan kemampuan pemahaman unsur-unsur ekstra linguistik. Dalam memahami wacana, seseorang tidak saja mengandalkan kemampuan linguistikdalam bentuk pemahaman terhadap bentuk dan susunan kalimat, frasa, kata-kata, dan unsur linguistik lain yang secara eksplisit terdapat dalam penggunaan bahasa. Pemahaman yang lebih dalam terdapat dalam konteks ekstra linguistik (exstralinguistic context), yaitu aspek-aspek pemahaman bahasa di luar apa yang diungkapkan secara eksplisit melalui bahasa, dan yang meliputi segala sesuatu dalam bentuk kejadian, pikiran, antar hubungan, perasaan, persepsi, ingatan, dan lain-lain.
Kemampuan pemahaman yang diharapkan dapat disadap dalam tes pragmatik, yang definisinya sebagai berikut :
Prosedur atau tugas yang menuntut pembelajaran untuk mencoba memahami rangkaian elemen bahasa, yang tersusun dalam bentuk penggunaan bahasa dengan berbagai kendala kontekstual yang secara alamiah dan wajar terdapat dalam penggunaan bahasa, sehingga mengharuskan peserta tes untuk mengaitkan rangkaian elemen bahasa itu dengan konteks di luar bahasa melalui pemetaan pragmatik.
Kendala alamiah yang terdapat dalam suatu wacana pragmatik mengharuskan pembaca (atau pendengar) untuk;
- mengolah dan memahami wacana itu dengan segala macam kendala, yang bersifat linguistik maupun ekstralinguistik, yang secara alamiah selalu mewarnai setiap wacana yang diungkapkan,
- memahami hubungan-hubungan pragmatik antara konteks linguistik dan ekstralinguistik.
Dalam hal itu kendala yang bersifat linguistik berupa kurangnya pemahaman terhadap susunan wacana, tata bahasa, atau kata-kata yang digunakan dalam wacana. Sedangkan kendala ekstralinguistik berupa kurangnya pemahaman terhadap aspek-aspek diluar linguistik dalam bentuk abstraksi pengalaman hidup yang diperlukan untuk memahami isi wacana yang tengah dihadapi.
Penerapan pendekatan pragmatik dalam tes bahasa peling sering dikaitkan dengan tes cloze, disamping dikte. Pada tahap ini beberapa ciri khas tes cloze dapat digunakan sebagai sarana untuk mendeskripsikan ciri-ciri tes pragmatik seperti disebutkan di atas. Pada umumnya tes cloze terdiri dari teks bacaan sepanjang kira-kira 400-500 kata. Kemudian ada beberapa kata yang dihapus. Kemampuan untuk menemukan dan menuliskan kata-kata yang sama dihapus berdasarkan teks yang masih tertinggal tersebut, ditafsirkan sebagai ceminan dari kemampuan untuk memahami teks secara keseluruhan berdasarkan kemampuan pragmatik yang meliputi kemampuan memahami bacaan, susunan bacaan, tata bahasa, dan kosa kata (kemampuan linguistik), serta pengetahuan tentang seluk-beluk bidang yang dibahas dalam teks bacaan ( kemampuan ekstralinguistik ).
5. PENDEKATAN KOMUNIKATIF
Pendekatan komunikatif dapat dipahami sebagai pengembangan dari pendekatan pragmatik dengan cakupan yang jauh lebih luas, lebih beragam dan lebih kompleks. Pendekatan komunikatif terhadap bahasa terkait juga dengan gagasan tentang konteks ekstra linguisitik seperti halnya dalam pendekatan pragmatik, namun dengan cakupan yang lebih lengkap dan lebih luas, karena bertitik tolak dari komunikasi sebagai fungsi utama dalam penggunaan bahasa. Pendekatan komunikatif menjangkau cakupan yang lebih luas dengan menelaah penggunaan dan pemahaman bahasa dari fungsi utamanya, yaitu melakukan komunikasi dengan mengandalkan penggunaan kemampuan komunikatif.
Adapun kemampuan komunikatif itu mula-mula dipahami antara lain sebagai:
Kemampuan untuk memahami atau mengungkapkan apa yang sudah atau yang perlu diungkapkan, dengan menggunakan berbagai unsur bahasa yang terdapat di semua bahasa, dalam memhami ungkapan-ungkapan yang ada secara luwes dan disesuaikan dengan perubahan yang senantiasa timbul tidak semata-mata berdasarkan nilai-nilai konvensional yang sudah baku.
Bertitik tolak dari definisi yang tidak mudah dipahami itu, pemahaman terhadap kemampuan komunikatif itu lebih lanjut dijabarkan sebagai terdiri dari penguasaan terhadap tiga komoponen utama, masing-masing adalah
1) Kemampuan bahasa(language competen), yang meliputi berbagai unsur bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi lewat bahasa, termasuk struktur, kosakata, prosodi, makna.
2)Kemampuan strategis (strategic competen), yaitu kemampuan untuk menerapkan dan memanfaatkan komponen-komponen kemampuan bahasa dalam berkomunikasi lewat bahasa senyatanya, dan
3) Mekanisme psiko-fisiologis ( psychophysiological mwchaism), yaitu proses psikis dan neurologis yang digunakan dalam berkomunikasi lewat bahasa.
Untuk mempermudahkan dalam memahaminya maka didefinisikan kemampuan komunikatif yaitu suatu kemampuan untuk menggunakan bahasa sesuai dengan situasi nyata, baik secara riseftif maupun secara produktif(ability to use appriately, both receptively and productively in real situtions).
Penerapan kemampuan komunikatif pada tes bahasa komunikatif didasarkan pada rincian rumusan yang banyak digunakan, yang memhami kemampuan komunikatif itu sebagai terdiri dari kemampuan linguistik (linguistc competence), kemampuan wacana (discourse competence), dam kemampuan strategis(strategic competence). Di tengah berbagai upaya untuk memahami dan mendefinisikan kemampuan komunikatif yang masih dalam perkembangan itu, kemampuan komunkatif yang dimaknai sebagai upaya untuk menggunakan kemampuan linguistik yang cocok dengan situasi nyata kiranya dapat digunakan. Secara umum tes bahasa komunikatif adalah tes yang mengedepankan penggunaan kemampuan komunikatif, yang tidak mengedepankan pengetahuan gramatikal. Secara umum pula tes bahasa komnikatif merupakan tes yang pengembangan dan penggunaannya didasarkan atas penerapan teori kemampuan bahasa komunikatif, meskipun bentuknya tergantung pada dimensi mana yang perlu diutamakan seperti kontek, keaslian(authenticity), atau simulasi bahasanya.
PERANAN MEDIA DALAM PEMBELAJARAN
Media berasal dari bahasa latin merupakan bentuk jamak dari “Medium” yang secara harfiah berarti “Perantara” atau “Pengantar” yaitu perantara atau pengantar sumber pesan dengan penerima pesan. Beberapa ahli memberikan definisi tentang media pembelajaran. Schramm (1977) mengemukakan bahwa media pembelajaran adalah teknologi pembawa pesan yang dapat dimanfaatkan untuk keperluan pembelajaran. Sementara itu, Briggs (1977) berpendapat bahwa media pembelajaran adalah sarana fisik untuk menyampaikan isi/materi pembelajaran seperti : buku, film, video dan sebagainya. Sedangkan, National Education Associaton (1969) mengungkapkan bahwa media pembelajaran adalah sarana komunikasi dalam bentuk cetak maupun pandang-dengar, termasuk teknologi perangkat keras. Dari ketiga pendapat di atas disimpulkan bahwa media pembelajaran adalah segala sesuatu yang dapat menyalurkan pesan, dapat merangsang fikiran, perasaan, dan kemauan peserta didik sehingga dapat mendorong terciptanya proses belajar pada diri peserta didik.
Kehadiran media pembelajaran sebagai media antara guru sebagai pengirim informasi dan penerima informasi harus komunikatif, khususnya untuk obyek secara visualisasi. Masing-masing media mempunyai keistimewaan menurut karakteristik siswa. Pemilihan media yang sesuai dengan karakteristik siswa akan lebih membantu keberhasilan pengajar dalam pembelajaran. Secara rinci fungsi media memungkinkan siswa menyaksikan obyek yang ada tetapi sulit untuk dilihat dengan kasat mata melalui perantaraan gambar, potret, slide, dan sejenisnya mengakibatkan siswa memperoleh gambaran yang nyata (Degeng,1999:19).
Sebagai pentingnya peran media dalam pengajaran, namun tetap tidak bisa menggeser peran guru, karena media hanya berup alat bantu yang memfasilitasi guru dalam pengajaran. Oleh karena itu guru tidak dibenarkan menghindar dari kewajibannya sebagai pengajar dan pendidik untuk tampil di hadapan anak didik denganseluruh kepribadiannya.
Dalam proses belajar mengajar, fungsi media menurut Nana Sudjana ( 1991 ) yakni: :
Lebih detil lagi penggunaan media dalam proses pembelajaran adalah:
Berawal dari penjelasan di atas bahwa guru sangat diharapkan memahami terhadap media semakin jelas, sehingga dapat memanfatkan media secara tepat. Oleh karena itu, guru perlu menentukan media secara terencana, sistematis dan sistemik ( sesuai dengan sistem belajar mengajar ).
Menurut Gerlach dan Ely (dalam Arsyad,2002:11) ciri media pendidikan yang layak digunakan dalam pembelajaran adalah sebagai berikut:
Dari penjelasan diatas, disimpulkan bahwa fungsi dari media pembelajaran yaitu media yang mampu menampilkan serangkaian peristiwa secara nyata terjadi dalam waktu lama dan dapat disajikan dalam waktu singkat dan suatu peristiwa yang digambarkan harus mampu mentransfer keadaan sebenarnya, sehingga tidak menimbulkan adanya verbalisme. Keterlibatan siswa dalam kegiatan belajar mengajar sangat penting, karena seperti yang dikemukakan oleh Edgar Dale (dalam Sadiman, dkk,2003:7-8) dalam klasifikasi pengalaman menurut tingkat dari yang paling konkrit ke yang paling abstrak, dimana partisipasi, observasi, dan pengalaman langsung memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap pengalaman belajar yang diterima siswa. Penyampaian suatu konsep pada siswa akan tersampaikan dengan baik jika konsep tersebut mengharuskan siswa terlibat langsung didalamnya bila dibandingkan dengan konsep yang hanya melibatkan siswa untuk mengamati saja. Berdasarkan penjelasan diatas, maka dengan penggunaan media pembelajaran diharapkan dapat memberikan pengalaman belajar yang lebih konkret kepada siswa dan dapat meningkatkan keaktifan siswa dalam pembelajaran.
Kehadiran media pembelajaran sebagai media antara guru sebagai pengirim informasi dan penerima informasi harus komunikatif, khususnya untuk obyek secara visualisasi. Masing-masing media mempunyai keistimewaan menurut karakteristik siswa. Pemilihan media yang sesuai dengan karakteristik siswa akan lebih membantu keberhasilan pengajar dalam pembelajaran. Secara rinci fungsi media memungkinkan siswa menyaksikan obyek yang ada tetapi sulit untuk dilihat dengan kasat mata melalui perantaraan gambar, potret, slide, dan sejenisnya mengakibatkan siswa memperoleh gambaran yang nyata (Degeng,1999:19).
Penggunaan Media Dalam Proses Belajar Mengajar
Belajar tidak selamanya bersentuhan dengan hal - hal yang kongkrit, baik dalam konsep maupun faktanya. Bahkan dalam realitasnya belajar seringkali bersentuhan dengan hal-hal yang bersifat kompleks, maya dan berada di balik realitasnya. Karena itu media memiliki andil untuk menjelaskan hal - hal yang abstrak dan menunjukan hal - hal yang tersembunyi. Ketidak jelasan atau kerumitan bahan ajar dapat dibantu dengan menghadirkan media sebagai perantara. Bahkan dalam hal - hal tertentu media dapat mewakili kekurangan guru dalam mengkomunikasikan materi pelajaran. Namun perlu diingat bahwa peranan media tidak akan terlihat apabila penggunaanya tidak sejalan dengan esensi tujuan pengajaran yang telah dirumuskan. Karena itu tujuan pengajaran harus dijadikan sebagai pangkal acuan untuk menggunakan media. Manakala diabaikan maka media bukan lagi sebagai alat bantu pengajaran tetapi sebagai penghambat dalam pencapaian tujuan secara efektif dan efisien.Sebagai pentingnya peran media dalam pengajaran, namun tetap tidak bisa menggeser peran guru, karena media hanya berup alat bantu yang memfasilitasi guru dalam pengajaran. Oleh karena itu guru tidak dibenarkan menghindar dari kewajibannya sebagai pengajar dan pendidik untuk tampil di hadapan anak didik denganseluruh kepribadiannya.
Dalam proses belajar mengajar, fungsi media menurut Nana Sudjana ( 1991 ) yakni: :
- Penggunaan media dalam proses mengajar bukan merupakan fungsi tambahan, tetapi mempunyai fungsi sendiri sebagai alat bantu untuk mewujudkan situasi belajar mengajar yang efektif.
- Penggunaan media pengajaran merupakan bagian yangintegral dari keseluruhan situasi mengajar. Ini berarti bahwa media pengajaran merupakan salah satu unsur yang harus dikembangkan guru.
- Media dalam pengajaran penggunaannya bersifat integral dengan tujuan dan isi pelajaran.
- Penggunaan media bukan semata - mata sebagai alat huburan yang digunakan hanya sekedar melengkapi proses belajar supaya lebih menarik perhatian siswa.
- Penggunaan media dalam proses pembelajaran lebih diutamakan untuk mempercepat proses belajar dan membantu siswa dalam menagkap pengertian yang diberikan guru.
- Pengguna media dalam pengajaran diutamakan untuk mempertinggi mutu belajar mengajar.
Lebih detil lagi penggunaan media dalam proses pembelajaran adalah:
- Menarik perhatian siswa.
- Membantu untuk mempercepat pemahaman dalam proses pembelajaran.
- Memperjelas penyajian pesan agar tidak bersifat verbalistis ( dalam bentuk kata - kata tertulis atau lisan ).
- Mengatasi keterbatasan ruang.
- Pembelajaran lebih komunikatif dan produktif.
- Waktu pembelajaran lebih dikondisikan.
- Menghilangakn kebosanan siswa dalam belajar.
- Meningkatkan motivasi siswa dalam mempelajari sesuatu/ menimbulkan gairah belajar.
- Melayani gaya belajar siswa yang beraneka ragam.
- Meningkatkan kadar keaktifan/keterlibatan siswa dalam kegiatan pembelajaran.
Berawal dari penjelasan di atas bahwa guru sangat diharapkan memahami terhadap media semakin jelas, sehingga dapat memanfatkan media secara tepat. Oleh karena itu, guru perlu menentukan media secara terencana, sistematis dan sistemik ( sesuai dengan sistem belajar mengajar ).
Menurut Gerlach dan Ely (dalam Arsyad,2002:11) ciri media pendidikan yang layak digunakan dalam pembelajaran adalah sebagai berikut:
- Fiksatif (fixative property) Media pembelajaran mempunyai kemampuan untuk merekam, menyimpan, melestarikan, dan merekonstruksi suatu peristiwa/objek.
- Manipulatif (manipulatif property) Kejadian yang memakan waktu berhari-hari dapat disajikan kepada siswa dalam waktu dua atau tiga menit dengan teknik pengambilan gambar time-lapse recording.
- Distributif (distributive property) Memungkinkan berbagai objek ditransportasikan melalui suatu tampilan yang terintegrasi dan secara bersamaan objek dapat menggambarkan kondisi yang sama pada siswa dengan stimulus pengalaman yang relatif sama tentang kejadian itu.
- Mengatasi perbedaan pengalaman pribadi peserta didik.
- Mengatasi batas-batas ruang kelas.
- Mengatasi kesulitan apabila suatu benda yang diamati terlalu kecil.
- Mengatasi gerak benda secara cepat atau lambat.
- Mengatasi hal-hal yang terlalu kompleks untuk dipisahkan.
- Mengatasi suara yang terlalau halus untuk didengar.
- Mengatasi peristiwa-peristiwa alam.
- Memungkinkan terjadinya kontak langsung dengan masyarakat atau alam.
- Memungkinkan terjadinya kesamaan dalam pengamatan (Rohani, 1997:6).
Dari penjelasan diatas, disimpulkan bahwa fungsi dari media pembelajaran yaitu media yang mampu menampilkan serangkaian peristiwa secara nyata terjadi dalam waktu lama dan dapat disajikan dalam waktu singkat dan suatu peristiwa yang digambarkan harus mampu mentransfer keadaan sebenarnya, sehingga tidak menimbulkan adanya verbalisme. Keterlibatan siswa dalam kegiatan belajar mengajar sangat penting, karena seperti yang dikemukakan oleh Edgar Dale (dalam Sadiman, dkk,2003:7-8) dalam klasifikasi pengalaman menurut tingkat dari yang paling konkrit ke yang paling abstrak, dimana partisipasi, observasi, dan pengalaman langsung memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap pengalaman belajar yang diterima siswa. Penyampaian suatu konsep pada siswa akan tersampaikan dengan baik jika konsep tersebut mengharuskan siswa terlibat langsung didalamnya bila dibandingkan dengan konsep yang hanya melibatkan siswa untuk mengamati saja. Berdasarkan penjelasan diatas, maka dengan penggunaan media pembelajaran diharapkan dapat memberikan pengalaman belajar yang lebih konkret kepada siswa dan dapat meningkatkan keaktifan siswa dalam pembelajaran.