SLIDE-1-TITLE-HERE

Replace these every slider sentences with your featured post descriptions.Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha - Premiumbloggertemplates.com...

SLIDE-2-TITLE-HERE

Replace these every slider sentences with your featured post descriptions.Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha - Premiumbloggertemplates.com...

SLIDE-3-TITLE-HERE

Replace these every slider sentences with your featured post descriptions.Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha - Premiumbloggertemplates.com...

SLIDE-4-TITLE-HERE

Replace these every slider sentences with your featured post descriptions.Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha - Premiumbloggertemplates.com...

SLIDE-5-TITLE-HERE

Replace these every slider sentences with your featured post descriptions.Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha - Premiumbloggertemplates.com...

Rabu, 11 November 2009

Kritik Sastra

Kritik sastra yaitu penilaian yang dilakukan untuk mengetahui baik buruknya suatu hasil karya sastra.
Kegiatan kritik sastra lebih tua dari istilah kritik sastra.
Alasannya,
 Xenophanes dan Heraditus (500 SM) mengecam keras pujangga besar Homerus yang gemar mengisahkan cerita-cerita tidak senonoh serta bohong tentang dewi-dewi.
 Oleh Plato, peristiwa tersebut dinamakan Pertentangan purba antara puisi dan filsafat.
 Aristophanes (450 SM) lewat karya Katak-Katak mengadakan kritik terhadap penyair Tragedi Euripides yang terlampau menjunjung tinggi nilai kesenian dan kurang memerhatikan nilai-nilai social yang justru dijunjung tinggi oleh penyair tragedi terdahulunya, Aeschylus.

Menurut Plato, ada tiga unsur dalam karya yang baik.
a. Memberi ajaran moral yang lebih tinggi,
b. Memberi kenikmatan,
c. Ketepatan dalam wujud pengungkapan.

Istilah kritik sastra berasal dari kata Krites (hakim), sebab kata benda itu berasal dari kata kerja Krinein (menghakimi), juga pangkal kata benda Kriterian (dasar menghakimi).

 Kritik sastra (Wellek dan Warren) merupakan studi sastra yang langsung berhadapan dengan karya sastra, secara langsung membicarakan karya sastra dengan penekanan pada penilaian.
 H.B. Jassin, pertimbangan baik buruknya karya sastra penerangan dan penghakiman karya sastra.
 Tarigan, pengamatan yang teliti, perbandingan yang tepat serta pertimbangan yang adil terhadap baik buruknya kualitas, nilai kebenaran suatu karya sastra.
 Hardjana, sebagai hasil usaha pembaca dalam mencari dan menemukan nilai hakiki karya sastra lewat pemahaman dan penafsiran sistematika yang dinyatakan dalam bentuk tertulis.

Kritikus harus benar-benar menaruh minat pada karya sastra, terlatih kepekaan citanya dan mendalami sastra, menilai tinggi pengalaman yang berhubungan dengan masalah kehidupan dan kemanusiaan lewat penghayatan kehidupan secara intensif, implementatif, maupun dengan membaca buku-buku yang berhubungan dengan masalah-masalah humanitas, dan lain-lain.

Graham Hough (dalam Pradopo), kritik sastra itu bukan hanya terbatas pada penyuntingan dan penetapan teks, intepretasi, dan pertimbangan nilai, melainkan meliputi masalah yang lebih luas tentang apakah kesusasteraan, untuk apa, dan bagaimana hubungannya dengan masalah-masalah kemanusiaan yang lain.


UNSUR YANG HARUS ADA DALAM MENDEFINISI PENGERTIAN KRITIK SASTRA.

1. Kritikus adalah orang yang memiliki kemampuan dalam menilai karya sastra secara objektif. Memberi penilaian terhadap karya sastra merupakan kegiatan yang sering ia lakukan. Oleh karena itu, kritikus selalu menjadi tempat untuk berkonsultasi atau menjadi bumerang bagi para sastrawan. Hasil kerjanya akan menjadi masukan bagi penulis dalam mengembangkan profesinya.
Pengkritik adalah orang yang melakukan penilaian baik buruknya karya sastra secara objektif. Penilaian terhadap karya sastra yang ia lakukan mungkin karena perintah atau tugas.
2. Karya sastra
Karya sastralah yang menjadi objek penilaian. Karya sastra yang bermutu merupakan penemuan (lain dari yang lain), merupakan ekpresi sastrawannya, pekat (kepadatan isi dan bentuk, bahasa, dan ekpresi), dan penafsiran kehidupan sebuah pembaharuan.
3. Objektif
Orang yang melakukan penilaian terhadap karya sastra harus bersifat objektif. Apabia dia gagal mempertahankan sifat objektifnya, maka hasil kritiknya akan berat sebelah. Ia akan memihak (menilai baik, memuji) kepada penulisnya apabila ia senang atau ada faktor lainnya, sebaliknya ia akan menilai jelek karya sastra yang dikajinya apabila ia kurang simpatikkepada penulisnya.
4. Hasil
Kemampuan kritikus atau pengkritik dapat diketahui setelah ia selesai mengerjakan tugasnya. Hasil merupakan bukti seorang kritikus atau pengkritik. Mereka dapat dikatakan baik terbukti dari pekerjaan yang telah mereka lakukan.

ILMU SASTRA
a. Teori sastra (bidang teori)
Penyelidikan yang berhubungan dengan, apakah sastra itu, apa hakikat sastra, dasar-dasar sastra, bermacam-macam gaya, teori komposisi sastra, jenis-jenis sastra, teori penilaian, dan lain-lain yang berhubungan dengan teori sastra.
b. Sejarah sastra
Bertugas menyusun perkembangan sastra dari mulai tumbuhnya suatu kesusasteraan, sejarah jenis sastra, sejarah perkembangan gaya-gaya sastra, sejarah perkembangan pikiran manusia dalam sastra.
c. Kritik sastra
Ilmu sastra yang berusaha menyelidiki sastra dengan cara langsung menganalisis, memberi pertimbangan baik buruknya karya sastra, bernilai seni atau tidak.

BAGAIMANAKAH HUBUNGAN TEORI SASTRA, SEJARAH SASTRA, DAN KRITIK SASTRA?
 Menilai karya sastra diperlukan teori tentang penilaian sastra yang baik, syarat-syarat apakah yang harus dipenuhioleh suatu karya sastra supaya dapat bernilai sastradan sebaliknya sastra yang kurang bernilai sastra (ini termasuk dalam teori sastra),
 Teori sastra juga memerlukan bantuan kritik sastra, misalnya untuk menyusun teori tentang gaya atau teknik cerita, teori sastra dapat mengambil dari hasil kritik terhadap karya sastra.
 Untuk menyusun sejarah sastra diperlukan teori sastra, misalnya teori tentang sejarah sastra, teori tentang angkatan, misalnya bagaimana menggolongkan karya sastra ke dalam suatu periode atau menyusun periode sastra.
 Teori sastra juga memerlukan sejarah sastra, misalnya untuk menyusun teori tentang angkatan, kita harus melihat penimbangan kesusasteraan.
 Sejarah sastra juga memberi sumbangannya kepada kritik sastra. Untuk mengetahui ciptaan asli atau tidak, gaya/klise atau bukan. Sebaliknya, untuk menyusun sejarah sastra diperlukan kritik sastra. Karya sastra tidak dapat dimasukkan ke dalam sejarah sastra jika tidak bernilai sastra. Untuk menentukan bernilai atau tidaknya, diperlukan kritik sastra.

APAKAH KEGUNAAN KRITIK SASTRA
a. Ilmu sastra, kritikus dapat memberikan sumbangannya yang penting. Dalam penyusunan teori sastra perlu mengambil hasil yang dicapai kritik sastra.
b. Sastrawan, kritik sastra dapat berguna bagi para sastrawan. Sastrawan dapat melihat karya sastra yang bernilai baik dan kurang baik.
c. Pembaca, kritik sastra sangat membantu pembaca dalam memahami karya sastra.
\
APA KELEMAHAN ADANYA KRITIK SASTRA?
1. Kritik sastra yang hanya memfokuskan pada satu aspek akan mengurangi hasil kritikannya,
2. Karya sastra hanya menjadi objek penyelidikan, kehilangan rasa dan artinya,
3. Orang sering membaca hasil kritik sastra, akibatnya tidak membaca naskah aslinya,
4. Kritik sastra menyebabkan kita memandang karya sastra dengan kacamata kritikus dan pikiran kita dikuasai oleh kritikus.

TUGAS POKOK KRITIKUS SASTRA (SPINGARN, DALAM SHIPLEY, 1962)
1. Apakah yang hendak diekpresikan oleh sastrawan?
2. Berhasilkah dia mengekpresikan hal itu?
3. Apakah hal itu pantas diekpresikan?

TIGA ASPEK KRITIK SASTRA
1. Analisis
Penilaian terhadap karya sastra dilakukan untuk memahami sastra. Analisis merupakan satu di antara sarana penafsiran atau interpretasi
2. Interpretasi
Penafsiran terhadap karya sastra dengan memerhatikan aspek-aspek yang membangun karya sastra. Dalam arti sempitnya, penjelasan arti bahasa sastra dengan sarana analisis, parafrase, dan komentar, terutama pada ambiguitas/bahasa kias
3. Evaluasi/penilaian
Proses, cara, perbuatan menilai. Kedua aspek di atas termasuk ke dalam penilaian
Ketiga aktivitas kritik sastra tidak dapat dipisah-pisahkan dalam mengkritik karya sastra karena ketiganya saling erat hubungannya dan saling menentukan.

DUA CARA MENIKMATI DAN MEMAHAMI KARYA SASTRA
1. Barsatu dan berusaha menenggelamkan diri ke dalam karya sastra yang dianalisis. Kita harus dapat merasakan dan menikmati.
2. Menikmatinya secara sadar dengan memamfaatkan kaidah atau kriteria tertentu untuk menganalisis karya sastra, sehingga kita menilai secara objektif.

HARUS DIINGAT!
 Sastra adalah karya seni yang menggunakan imajinasi pengarang
 Ada struktur yang membangun sastra. Oleh karena itu, bersifat otonom
 Ada nilai-nilai edukatif yang dapat diperoleh dalam sastra
 Penilaian terhadap sastra hanya dapat dilakukan oleh seseorang yang mengetahui seluk beluk karya sastra. Ia harus mampu memamfaatkan berbagai pengetahuan tentang nilai dan seluk beluk karya sastra
 Nilai sastra harus dapat dikembalikan kepada suatu prinsip, yaitu kemanusiaan. Sebab tidak ada seni untuk seni saja atau tidak ada ilmu untuk ilmu saja

PENDEKATAN KRITIK SASTRA
1. Mimetik
Memandang karya sastra sebagai tiruan atau pembayangan dunia kehidupan.
Plato: seni hanyalah tiruan alam yang nilainya jauh di bawah kenyataan dan ide
Aristoteles: tiruan itu justru membedakannya dari segala sesuatu yang nyata dan umum karena seni merupakan aktivitas manusia.
2. Pragmatik
Memandang makna karya sastra ditentukan oleh pembaca. Karya sastra dipandang sebagai karya seni yang berhasil apabila bermamfaat bagi pembacanya, seperti menyenangkan, memberi kenikmatan, dan mendidik.
3. Ekpresif
Memandang karya sastra sebagai pernyataan dunia batin pengarang yang bersangkutan. Segala gagasan, cita rasa, emosi, dan angan-angan merupakan dunia dalam pengarang. Maka, sastra merupakan dunia luar yang bersesuaian dengan dunia dalam itu. Dengan pendekatan ini, penilaian tertuju pada emosi atau jiwa pengarang, sehingga sastra merupakan sarana untuk memahami jiwa pengarang.
4. Objektif
Memandang sastra sebagai dunia otonom yang dapat dilepaskan siapa pengarang dan lingkungan social budaya zamannya, sehingga sastra dapat di analisis berdasarkan strukturnya sendiri.

JENIS KRITIK SASTRA
 Berdasarkan bentuk:
a) Kritik sastra
Teoritis atau teori kritik, prinsip-prinsip kritik sebagai dasar pengkritikan karya sastra.
b) Kritik terapan
Berupa penerapan teori atau prinsip kritik sastra pada karya sastra.
 Berdasarkan metode:
a) Kritik induktif
Kritik sastra yang menguraikan bagian-bagian atau unsure-unsur karya sastra berdasarkan fenomena-fenomenanya yang ada secara objektif.
b) Kritik yudisial
Kritik sastra yang berusaha menganalisis dan menerangkan aspek-aspek kaarya sastra berdasarkan pokoknya, organisasinya, dan teknik dan gaya. Kritik ini berdasarkan pertimbangan individual kritikus atas dasar standar umum tentang kehebatan karya sastra.
c) Kritik impresionistik
Kritik sastra yang berusaha dengan kata-kata mendapatkan sifat-sifat yang berasal dalam karya sastra dan mengekpresikan tanggapan-tanggapan kritikus yang ditimbulkan secara langsung oleh karya sastra tersebut. Kritik ini kadang bersifat subjektif.
 Berdasarkan tipe:
a) Kritik mimetic
b) Kritik pragmatic
c) Kritik ekpresif
d) Kritik objektif

Selasa, 10 November 2009

PENDEKATAN TES BAHASA

Tes bahasa merupakan bagian dari ilmu bahasa atau linguistik, yaitu ilmu yang mempelajari seluk beluk bahasa. Kajian tes bahasa dapat bersifat umum seperti yang dilakukan dalam linguistik umum yang membahas masalah-masalah umum seperti latar belakang dan sasaran kajian bahasa. Kajian bahasa dapat pula bersifat ilmiah, teoritis, dan rinci seperti yang dilakukan dalam linguistik murni atau linguistik teoretis yang menyajikan kajian-kajian tentang seluk beluk tata bahasa transformasi, atau aspek tertentu dari bahasa seperti kajian tentang makna dalam kajian semantik dan kajian dari sudut pandang psikologi dalam psikolinguistik dan lain-lain.
Tes bahasa merupakan bagian dari keseluruhan penyelenggaraan pembelajaran bahasa, khususnya sebagai bagian dari komponen ke-3, yaitu evaluasi hasil pembelajaran. Dalam kedudukan tersebut, tes bahasa mempunyai kaitan yang sangat erat dengan komponen-komponen lain dalam penyelenggaraan pembelajaran bahasa, terutama komponen pembelajaran yang mendasarinya, yaitu kegiatan pembelajaran. Hal serupa berlaku juga sebaliknya terhadap komponen kegiatan pembelajaran itu sendiri yang seharusnya amat erat kaitannya dengan komponen tujuan pembelajaran yang mendasarinya.
Secara umum pandangan terhadap bahasa menentukan dan mendasari bagaimana pembelajaran bahasa diselenggarankan dan pembelajaran bahasa yang diselenggarakan menentukan tes bahasanya diselenggarakan. Dengan kata lain, pendekatan terhadap bahasa menentukan pendekatan pembelajaran bahasa, dan pendekatan pembelajaran bahasa menentukan pendekatan dalam penyelenggaraan tesnya. Dalam kajian bahasa dikenal ada berbagai cara pandang dan unsur yang dianggap penting oleh ahli yang berbeda atau tahap perkembangan ilmu pengetahuan yang berbeda. Perbedaan cara pandang tersebut dapat dikenali dan ditelusuri keberadaannya pada berbagai cabang kajian bahasa, termasuk tes bahasa, dalam bentuk (1) Pendekatan Tradisional, (2) Pendekatan Diskert, (3) Pendekatan Integratif, (4) Pendekatan Pragmatik, dan (5) Pendekatan Komunikatif.


1. PENDEKATAN TRADISIONAL

Pendekatan tradisional dalam tes bahasa dikaitkan dengan bentuk pembelajaran bahasa yang tradisional (konvensional) yang banyak digunakan pada kurun waktu ketika belum cukup banyak pembelajaran yang pengembangan dan penyelenggaraannya didasarkan atas kajianyang memadaiterhadap seluk beluk bahasa. Dalam pendekatan tradisional pembelajaran bahasa diselenggarakan sekedar untuk kebutuhan terbatas tertentu seperti; berkomunikasi secara lisan dan terbatas dan dititik beratkan pada ketatabahasaan. Banyak diantaranya hanya menekankan pada kemampuan menerjemahkan dari suatu bahasa ke dalam bahasa lainnya.
Penyelenggaraan tes dalam penyelenggaraan pembelajaran secara tradisional itu dilakukan juga secara tradisional tanpa menggunakan suatu teori bahasa tertentu sebagai dasar. Dalam penyelenggaran tes bahasa dengan pendekatan tradisional ini tidak terdapat rambu-rambu yang jelas atau baku tentang jenis kemampuan bahasa yang dijadikan sasaran, cara bagaiman tes itu diselenggarakan, dan bahkan cara bagaimana pekerjaan siswa itu dinilai. Semuanya terpulang pada penyusun dan penyelenggara tes. Kadangkala tes bahasa itu terdiri dari tugas untuk sekedar menerjemahkan suatu teks yang ditulis dalam bahasa yang sedang dipelajari ke dalam bahasa pertama. Oleh sebab itu pendekatan tradisionalsering disebut sebagai pendekatan terjemahan.
Dalam pendekatan ini penyelenggaraan tes bahasa banyak diwarnai dengan berbagai bentuk subjektifitas dalam hal pemilihan kemampuan bahasa yang dijadikan sasaran, pemilihan dan penetapan bahan dan isi tes, serta cara penilaian peserta tes. Oleh karena itu, pendekatan tes bahasa ini seringkali disebut tes pendekatan bahasa pra-ilmiah.

2. PENDEKATAN DISKRET

Dalam pandangan ilmu bahasa struktural, bahasa dipahami sebagai sesuatu yang memiliki struktur yang demikian rapi seperti suatu bangunan buatan manusia. Dalam pandangan bahasa struktural ini, wacana sebagai wujud penggunaan bahasa yang luas cakupannya, dipahami sebagai suatu yang terdiri dan tersusun dari wacana yang lebih kecil dalam bentuk paragrafdan kalimat. Kalimat dipahami sebagai terdiri dari frasa. Frasa terdiri dari kata-katak. Kata-kata terdiri dari suku kata. Suku kata terdiri dari morfem. Morfem terdiri dari alomorf. Alomorf terdiri dari fonem, dan demikian seterusnya. Pendekkata menurut pandangan struktural setiab bagian dari bahasa itu dapat dipisah-pisahkan menjadi bagian yang lebih kecil. Demikian juga dengan berbagai aspek kebahasaan( tata bahasa).
Sebagai bagian dari penerapan kajian ilmu bahasa struktural, bahasa dalam tes bahasa diskret dipahami sebagai sesuatu yang berstruktur dan terdiri dari bagian-bagian yang bersama-sama membentuk suatu entitas yang disebut bahasa. Bagian-bagian bahasa sampai yang terkecil itu dapat diidentifikasi secara terpisah dan tersendiri atau diskret, baik dalam pelaksanaan pembelajaran maupun penyelenggaraan tes yang diskret (discrate-point testing). Dalam tes pendekatan diskret, satu butir tes dimaksudkan untuk mengukur hanya satu unsur komponen bahasa. Tes bahasa yang diskret terdiri dari butir-butir tes yang, yang secara terpisah di luar konteks, menugaskan peserta tes untuk membedakan satu bunyi bahasa dari bunyi bahasa yang lain ( misalnya konsonan δ dan ė), melafalkan satu bunyi bahasa tertentu (misalnya vokal æ dan å), menyebutkan lawan kata dari satu kata tertentu (menang atau kalah), bentuk jamak daru suatu kata benda ( bentuk jamak dari rumah adalah rumah-rumah), dan lain-lain. Dewasa ini penerapan pendekatan diskret dalam penyelenggaraan tes tidak banyak ditemukan, terutama karena validitas yang dipersoalkan maupun nilai kepraktisan dan tingkat kebutuhannya. Penerapan tes bahasa atas dasar pendekatan diskret ini mungkin masih dapat dipahami dan ditemukan pada sejumlah bentuk pembelajaran bahasa oleh calon pengajar bahasa, khususnya bahasa asing.
Pendekatan diskret ini diterapkan atas dasar konvensional terhadap keempat aspek kebahasaan (menyimak, membaca, menulis, berbicara) dan empat komponen bahasa (bunyi bahasa, struktur bahasa, kosakata, dan kelancaran bahasa). [ lihat tabel 2.1].


3. PENDEKATAN INTEGRATIF

Pendekatan integratif lebih sesuai dengan kebutuhan nyata di mana kemampuan dan unsur bahasa pada umumnya tidak diperlakukan secara terpisah-pisah. Dalam penggunaan bahasa senyatanya kemampuan dan unsur bahasa digunakan dalam wacana yang merupakan gabungan dari beberapa jenis kemampuan atau unsur bahasa. Bila dalam pendekatan diskert bahasa seolah-olah dipisahkan menjadi bagian-bagian yang lebih kecil sampai pada bagian terkecil, pendekatan integratif dapat dipandang sebagai penyatuan bagian-bagian itu kembali menjadi lebih utuh. Seberapa lebih utuh penggabungan itu tergantung pada berapa banyak bagian kemampuan dan komponen bahasa yang perlu saling digabungkan untuk menjawab butir-butir tes yang diselenggarakan.
Butir tes kosakata seperti “baik x …….” (dibaca: lawan kata baik adalah…..) pada dasarnya bersifat diskert karena digunakan secara lepas. Jika pernyataan yang sama itu dikemas dalam kalimat “orang itu sangat baik, sedangkan saudaranya…...), bitur tes yang semula diskert berubah menjadi integratif karena digunakan dalam kaitannya dalam unsur-unsur bahasa lain. Dalam hal itu, kemampuan menemukan jawaban berupa kata jahat tidak semata-mata dimungkinkan oleh pengetahuan tentang kosakata baik dan jahat, tetapi dipermudah oleh pengetahuan tentang kosakata orang itu dan saudaranya. Tercermin bahwa kemampuan menjawab butir tes tersebut tidak sekedar mengandalkan penguasaan unsur kosakata, melainkan melibatkan pula penguasaan unsur bahasa lain, yaitu susunan kata-kata yang merupakan bagian dari tata bahasa.
Ciri pendekatan integratif yang melibatkan lebih dari satu unsur merupakan penggabungan lebih dari satu jenis kemampuan atau komponen bahasa. Pada penggunaan bahasa senyatanya, termasuk dalam mengerjakan tes, penggabungan unsur bahasa pada pendekatan integratif bahkan dapat bersifat jauh lebih luas dan menyeluruh, menyangkut penggunaan bahasa dalam komunikasi secara keseluruhan.


4. PENDEKATAN PRAGMATIK

Pendekatan pragmatik awalnya digunakan dalam kaitannya dengan teori tentang kemampuan memahami berdasarkan kemampuan tata bahasa pragmatik ( pragmatik expectancy grammar), atau kemampuan pragmatik. Kemampuan itu merupakan kemampuan untuk memahami teks atau wacana, tidak hanya dalam konteks linguistik melainkan juga dengan memanfaatkan kemampuan pemahaman unsur-unsur ekstra linguistik. Dalam memahami wacana, seseorang tidak saja mengandalkan kemampuan linguistikdalam bentuk pemahaman terhadap bentuk dan susunan kalimat, frasa, kata-kata, dan unsur linguistik lain yang secara eksplisit terdapat dalam penggunaan bahasa. Pemahaman yang lebih dalam terdapat dalam konteks ekstra linguistik (exstralinguistic context), yaitu aspek-aspek pemahaman bahasa di luar apa yang diungkapkan secara eksplisit melalui bahasa, dan yang meliputi segala sesuatu dalam bentuk kejadian, pikiran, antar hubungan, perasaan, persepsi, ingatan, dan lain-lain.
Kemampuan pemahaman yang diharapkan dapat disadap dalam tes pragmatik, yang definisinya sebagai berikut :

Prosedur atau tugas yang menuntut pembelajaran untuk mencoba memahami rangkaian elemen bahasa, yang tersusun dalam bentuk penggunaan bahasa dengan berbagai kendala kontekstual yang secara alamiah dan wajar terdapat dalam penggunaan bahasa, sehingga mengharuskan peserta tes untuk mengaitkan rangkaian elemen bahasa itu dengan konteks di luar bahasa melalui pemetaan pragmatik.


Kendala alamiah yang terdapat dalam suatu wacana pragmatik mengharuskan pembaca (atau pendengar) untuk;
- mengolah dan memahami wacana itu dengan segala macam kendala, yang bersifat linguistik maupun ekstralinguistik, yang secara alamiah selalu mewarnai setiap wacana yang diungkapkan,
- memahami hubungan-hubungan pragmatik antara konteks linguistik dan ekstralinguistik.
Dalam hal itu kendala yang bersifat linguistik berupa kurangnya pemahaman terhadap susunan wacana, tata bahasa, atau kata-kata yang digunakan dalam wacana. Sedangkan kendala ekstralinguistik berupa kurangnya pemahaman terhadap aspek-aspek diluar linguistik dalam bentuk abstraksi pengalaman hidup yang diperlukan untuk memahami isi wacana yang tengah dihadapi.
Penerapan pendekatan pragmatik dalam tes bahasa peling sering dikaitkan dengan tes cloze, disamping dikte. Pada tahap ini beberapa ciri khas tes cloze dapat digunakan sebagai sarana untuk mendeskripsikan ciri-ciri tes pragmatik seperti disebutkan di atas. Pada umumnya tes cloze terdiri dari teks bacaan sepanjang kira-kira 400-500 kata. Kemudian ada beberapa kata yang dihapus. Kemampuan untuk menemukan dan menuliskan kata-kata yang sama dihapus berdasarkan teks yang masih tertinggal tersebut, ditafsirkan sebagai ceminan dari kemampuan untuk memahami teks secara keseluruhan berdasarkan kemampuan pragmatik yang meliputi kemampuan memahami bacaan, susunan bacaan, tata bahasa, dan kosa kata (kemampuan linguistik), serta pengetahuan tentang seluk-beluk bidang yang dibahas dalam teks bacaan ( kemampuan ekstralinguistik ).



5. PENDEKATAN KOMUNIKATIF

Pendekatan komunikatif dapat dipahami sebagai pengembangan dari pendekatan pragmatik dengan cakupan yang jauh lebih luas, lebih beragam dan lebih kompleks. Pendekatan komunikatif terhadap bahasa terkait juga dengan gagasan tentang konteks ekstra linguisitik seperti halnya dalam pendekatan pragmatik, namun dengan cakupan yang lebih lengkap dan lebih luas, karena bertitik tolak dari komunikasi sebagai fungsi utama dalam penggunaan bahasa. Pendekatan komunikatif menjangkau cakupan yang lebih luas dengan menelaah penggunaan dan pemahaman bahasa dari fungsi utamanya, yaitu melakukan komunikasi dengan mengandalkan penggunaan kemampuan komunikatif.
Adapun kemampuan komunikatif itu mula-mula dipahami antara lain sebagai:
Kemampuan untuk memahami atau mengungkapkan apa yang sudah atau yang perlu diungkapkan, dengan menggunakan berbagai unsur bahasa yang terdapat di semua bahasa, dalam memhami ungkapan-ungkapan yang ada secara luwes dan disesuaikan dengan perubahan yang senantiasa timbul tidak semata-mata berdasarkan nilai-nilai konvensional yang sudah baku.
Bertitik tolak dari definisi yang tidak mudah dipahami itu, pemahaman terhadap kemampuan komunikatif itu lebih lanjut dijabarkan sebagai terdiri dari penguasaan terhadap tiga komoponen utama, masing-masing adalah
1) Kemampuan bahasa(language competen), yang meliputi berbagai unsur bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi lewat bahasa, termasuk struktur, kosakata, prosodi, makna.
2)Kemampuan strategis (strategic competen), yaitu kemampuan untuk menerapkan dan memanfaatkan komponen-komponen kemampuan bahasa dalam berkomunikasi lewat bahasa senyatanya, dan
3) Mekanisme psiko-fisiologis ( psychophysiological mwchaism), yaitu proses psikis dan neurologis yang digunakan dalam berkomunikasi lewat bahasa.
Untuk mempermudahkan dalam memahaminya maka didefinisikan kemampuan komunikatif yaitu suatu kemampuan untuk menggunakan bahasa sesuai dengan situasi nyata, baik secara riseftif maupun secara produktif(ability to use appriately, both receptively and productively in real situtions).
Penerapan kemampuan komunikatif pada tes bahasa komunikatif didasarkan pada rincian rumusan yang banyak digunakan, yang memhami kemampuan komunikatif itu sebagai terdiri dari kemampuan linguistik (linguistc competence), kemampuan wacana (discourse competence), dam kemampuan strategis(strategic competence). Di tengah berbagai upaya untuk memahami dan mendefinisikan kemampuan komunikatif yang masih dalam perkembangan itu, kemampuan komunkatif yang dimaknai sebagai upaya untuk menggunakan kemampuan linguistik yang cocok dengan situasi nyata kiranya dapat digunakan. Secara umum tes bahasa komunikatif adalah tes yang mengedepankan penggunaan kemampuan komunikatif, yang tidak mengedepankan pengetahuan gramatikal. Secara umum pula tes bahasa komnikatif merupakan tes yang pengembangan dan penggunaannya didasarkan atas penerapan teori kemampuan bahasa komunikatif, meskipun bentuknya tergantung pada dimensi mana yang perlu diutamakan seperti kontek, keaslian(authenticity), atau simulasi bahasanya.

PERANAN MEDIA DALAM PEMBELAJARAN

Media berasal dari bahasa latin merupakan bentuk jamak dari “Medium” yang secara harfiah berarti “Perantara” atau “Pengantar” yaitu perantara atau pengantar sumber pesan dengan penerima pesan. Beberapa ahli memberikan definisi tentang media pembelajaran. Schramm (1977) mengemukakan bahwa media pembelajaran adalah teknologi pembawa pesan yang dapat dimanfaatkan untuk keperluan pembelajaran. Sementara itu, Briggs (1977) berpendapat bahwa media pembelajaran adalah sarana fisik untuk menyampaikan isi/materi pembelajaran seperti : buku, film, video dan sebagainya. Sedangkan, National Education Associaton (1969) mengungkapkan bahwa media pembelajaran adalah sarana komunikasi dalam bentuk cetak maupun pandang-dengar, termasuk teknologi perangkat keras. Dari ketiga pendapat di atas disimpulkan bahwa media pembelajaran adalah segala sesuatu yang dapat menyalurkan pesan, dapat merangsang fikiran, perasaan, dan kemauan peserta didik sehingga dapat mendorong terciptanya proses belajar pada diri peserta didik.
Kehadiran media pembelajaran sebagai media antara guru sebagai pengirim informasi dan penerima informasi harus komunikatif, khususnya untuk obyek secara visualisasi. Masing-masing media mempunyai keistimewaan menurut karakteristik siswa. Pemilihan media yang sesuai dengan karakteristik siswa akan lebih membantu keberhasilan pengajar dalam pembelajaran. Secara rinci fungsi media memungkinkan siswa menyaksikan obyek yang ada tetapi sulit untuk dilihat dengan kasat mata melalui perantaraan gambar, potret, slide, dan sejenisnya mengakibatkan siswa memperoleh gambaran yang nyata (Degeng,1999:19).



Penggunaan Media Dalam Proses Belajar Mengajar

Belajar tidak selamanya bersentuhan dengan hal - hal yang kongkrit, baik dalam konsep maupun faktanya. Bahkan dalam realitasnya belajar seringkali bersentuhan dengan hal-hal yang bersifat kompleks, maya dan berada di balik realitasnya. Karena itu media memiliki andil untuk menjelaskan hal - hal yang abstrak dan menunjukan hal - hal yang tersembunyi. Ketidak jelasan atau kerumitan bahan ajar dapat dibantu dengan menghadirkan media sebagai perantara. Bahkan dalam hal - hal tertentu media dapat mewakili kekurangan guru dalam mengkomunikasikan materi pelajaran. Namun perlu diingat bahwa peranan media tidak akan terlihat apabila penggunaanya tidak sejalan dengan esensi tujuan pengajaran yang telah dirumuskan. Karena itu tujuan pengajaran harus dijadikan sebagai pangkal acuan untuk menggunakan media. Manakala diabaikan maka media bukan lagi sebagai alat bantu pengajaran tetapi sebagai penghambat dalam pencapaian tujuan secara efektif dan efisien.
Sebagai pentingnya peran media dalam pengajaran, namun tetap tidak bisa menggeser peran guru, karena media hanya berup alat bantu yang memfasilitasi guru dalam pengajaran. Oleh karena itu guru tidak dibenarkan menghindar dari kewajibannya sebagai pengajar dan pendidik untuk tampil di hadapan anak didik denganseluruh kepribadiannya.

Dalam proses belajar mengajar, fungsi media menurut Nana Sudjana ( 1991 ) yakni: :
  1. Penggunaan media dalam proses mengajar bukan merupakan fungsi tambahan, tetapi mempunyai fungsi sendiri sebagai alat bantu untuk mewujudkan situasi belajar mengajar yang efektif.
  2. Penggunaan media pengajaran merupakan bagian yangintegral dari keseluruhan situasi mengajar. Ini berarti bahwa media pengajaran merupakan salah satu unsur yang harus dikembangkan guru.
  3. Media dalam pengajaran penggunaannya bersifat integral dengan tujuan dan isi pelajaran.
  4. Penggunaan media bukan semata - mata sebagai alat huburan yang digunakan hanya sekedar melengkapi proses belajar supaya lebih menarik perhatian siswa.
  5. Penggunaan media dalam proses pembelajaran lebih diutamakan untuk mempercepat proses belajar dan membantu siswa dalam menagkap pengertian yang diberikan guru.
  6. Pengguna media dalam pengajaran diutamakan untuk mempertinggi mutu belajar mengajar.

Lebih detil lagi penggunaan media dalam proses pembelajaran adalah:
  1. Menarik perhatian siswa.
  2. Membantu untuk mempercepat pemahaman dalam proses pembelajaran.
  3. Memperjelas penyajian pesan agar tidak bersifat verbalistis ( dalam bentuk kata - kata tertulis atau lisan ).
  4. Mengatasi keterbatasan ruang.
  5. Pembelajaran lebih komunikatif dan produktif.
  6. Waktu pembelajaran lebih dikondisikan.
  7. Menghilangakn kebosanan siswa dalam belajar.
  8. Meningkatkan motivasi siswa dalam mempelajari sesuatu/ menimbulkan gairah belajar.
  9. Melayani gaya belajar siswa yang beraneka ragam.
  10. Meningkatkan kadar keaktifan/keterlibatan siswa dalam kegiatan pembelajaran.

Berawal dari penjelasan di atas bahwa guru sangat diharapkan memahami terhadap media semakin jelas, sehingga dapat memanfatkan media secara tepat. Oleh karena itu, guru perlu menentukan media secara terencana, sistematis dan sistemik ( sesuai dengan sistem belajar mengajar ).
Menurut Gerlach dan Ely (dalam Arsyad,2002:11) ciri media pendidikan yang layak digunakan dalam pembelajaran adalah sebagai berikut:
  1. Fiksatif (fixative property) Media pembelajaran mempunyai kemampuan untuk merekam, menyimpan, melestarikan, dan merekonstruksi suatu peristiwa/objek.
  2. Manipulatif (manipulatif property) Kejadian yang memakan waktu berhari-hari dapat disajikan kepada siswa dalam waktu dua atau tiga menit dengan teknik pengambilan gambar time-lapse recording.
  3. Distributif (distributive property) Memungkinkan berbagai objek ditransportasikan melalui suatu tampilan yang terintegrasi dan secara bersamaan objek dapat menggambarkan kondisi yang sama pada siswa dengan stimulus pengalaman yang relatif sama tentang kejadian itu.
Peranan Media, diantaranya:
  • Mengatasi perbedaan pengalaman pribadi peserta didik.
  • Mengatasi batas-batas ruang kelas.
  • Mengatasi kesulitan apabila suatu benda yang diamati terlalu kecil.
  • Mengatasi gerak benda secara cepat atau lambat.
  • Mengatasi hal-hal yang terlalu kompleks untuk dipisahkan.
  • Mengatasi suara yang terlalau halus untuk didengar.
  • Mengatasi peristiwa-peristiwa alam.
  • Memungkinkan terjadinya kontak langsung dengan masyarakat atau alam.
  • Memungkinkan terjadinya kesamaan dalam pengamatan (Rohani, 1997:6).

Dari penjelasan diatas, disimpulkan bahwa fungsi dari media pembelajaran yaitu media yang mampu menampilkan serangkaian peristiwa secara nyata terjadi dalam waktu lama dan dapat disajikan dalam waktu singkat dan suatu peristiwa yang digambarkan harus mampu mentransfer keadaan sebenarnya, sehingga tidak menimbulkan adanya verbalisme. Keterlibatan siswa dalam kegiatan belajar mengajar sangat penting, karena seperti yang dikemukakan oleh Edgar Dale (dalam Sadiman, dkk,2003:7-8) dalam klasifikasi pengalaman menurut tingkat dari yang paling konkrit ke yang paling abstrak, dimana partisipasi, observasi, dan pengalaman langsung memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap pengalaman belajar yang diterima siswa. Penyampaian suatu konsep pada siswa akan tersampaikan dengan baik jika konsep tersebut mengharuskan siswa terlibat langsung didalamnya bila dibandingkan dengan konsep yang hanya melibatkan siswa untuk mengamati saja. Berdasarkan penjelasan diatas, maka dengan penggunaan media pembelajaran diharapkan dapat memberikan pengalaman belajar yang lebih konkret kepada siswa dan dapat meningkatkan keaktifan siswa dalam pembelajaran.

KETERAMPILAN MENGELOLA KELAS

A. Pengertian dan Rasional
Mengelola kelas adalah suatu kegiatan yang dilaksanakan guru untuk menciptakan dan memelihara kondisi belajar yang optimal serta mengembalikan kondisi belajar yang terganggu. Jika guru mengatur kondisi belajar secara optimal, maka proses belajar akan berlangsung optimal juga. Suatu kondisi belajar optimal akan dicapainya, apabila guru mampu mengatur siswa dengan suasana pengajaran yang serasi serta mengendalikan suasana belajar siswa yang menyenangkan.
Mengelola kelas sangat erat hubungannnya dengan penyediaan kondisi yang menguntungkan bagi siswa untuk belajar. Kegiatan mengelola kelas terjadi bersamaan dengan kegiatan mengelola pembelajaran. Kegiatan ini mengisyaratkan bahwa guru perlu menciptakan kondisi belajar yang menyenangkan dengan upaya mendisplinkan diri dan menciptakan iklim ajar yang sehat. Suatu kegiatan mengelola kelas yang penuh kedisiplinan yang efektif akan melibatkan guru dan siswa dalam kegiatan pembelajaran yang serius dan bebas dari gangguan.

B. Penggunaan dalam Kelas
Keterampilan mengelola kelas digunakan dengan beberapa tujuan:
1. Untuk Siswa
a. Mendorong siswa mengembankan tanggung jawab individu terhadap tingkah lakunya.
b. Membantu siswa memahami arah tingkah laku yang sesuai dengan tata tertib kelas.
c. Menimbulkan rasa berkewajiban melibatkan diri dalam tugas dan bertingkah laku wajar sesuai dengan aktivitas kelas.
2. Untuk Guru
a. Mengembangkan pengertian dan keterampilan dalam memelihara kelancaran penyajian pembelajaran. Memiliki kesadaran terhadap kebutuhan siswa.
b. Memberikan respon efektif terhadap tingkah laku siswa yang menimbulkan gangguan-gangguan kecil.

C. Prinsip-Prinsip Penggunaan
1. Kehangatan dan Keantusiasan
Kehangatan dan keantusiasan sangat berpengaruh pada suasana kelas. Sikap guru yang hangat dan antusias akan membawa suasana bergairah dan bersahabat.
2. Tantangan
Unsur tantangan ini sebenarnya sejak guru membuka pelajaran yang mempersiapkan mental siswa pada kegiatan-kegiatan di dalam kelas. Tantangan ini dapat berupa penggunaan kata-kata, tindakan, dan bahan-bahan yang meningkatkan gairah siswa.
3. Berbagai Variasi
Prinsip-prinsip memberikan variasi dalam kegiatan-kegiatan dan tugas-tugas yang dapat memotivasi siswa di dalam kelas dapat dilihat kembali pada keterampilan mengadakan variasi.
4. Keluwesan
Tindakan guru dalam memecahkan masalah atau mengatasi gangguan hendaknya luwes. Guru sewaktu-waktu dapat mengubah tindakannya dengan menggunakan berbagai komponen-komponen keterampilan yang sesuai.
5. Menekankan pada hal-hal positif
Untuk melihat hal-hal positif dapat dilakukan dengan cara-cara berikut:
a. Guru lebih menekankan pada tindakan yang positif dari siswa daripada mencari tindakan yang negative,
b. Penggunaan penguatan positif, dan
c. Menghindari kesalahan-kesalahan yang dapat merusak kelancaran kegiatan pembelajaran.
6. Pengembangan Disiplin Diri
Pengembangan disiplin diri merupakan tujuan akhir dari pengelolaan kelas. Untuk mencapai tujuan tersebut guru harus berani mengubah disiplin siswa dalam melaksanakan tugas-tugas dan tanggung jawab.

D. Komponen-komponen Keterampilan Mengelola Kelas
Ada dua keterampilan utama, yaitu: keterampilan yang bersifat preventif adalah keterampilan yang berhubungan dengan penciptaan, pemeliharaan kondisi belajar yang optimal; dan keterampilan yang bersifat represif adalah keterampilan yang berhubungan dengan pengembalian kondisi belajar yang optimal.
1. Keterampilan preventif, berkaitan dengan kemampuan guru dalam kegiatan-kegiatan sebagai berikut:
a. Sikap tanggap terhadap perhatian dan keterlibatan siswa
Sikap ini harus dikombinasikan kepada siswa melalui komunikasi antara mereka yang ditunjukkan dengan:
1) Pandangan mata atau kontak pandang yang di dalamnya terkandung interaksi antarpribadi. Pendekatan dan sikap bersahabat akan dilihat oleh siswa sebagai tindakan guru yang memberikan motivasi kepada siswa,
2) Gerakan guru dalam posisi mendekati dengan memperlihatkan sub kelompokatau individu di dalam kelas seakan besar pengaruhnya pada kesadaran kelas dan kegiatan berkelompok,
3) Pernyataan yang dikemukakan guru tentang kesiapannya memulai pelajaran dan memberikan tugas-tugas mereka, dan
4) Reaksi-reaksi terhadap tidak adanya perhatian dari siswa.
b. Membagi perhatian dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:
1) Visual: guru dapat mengganti pandangannya dari memerhatikan kegiatan yang satu ke kegiatan yang lain, ia menunjukkan perhatiannya dari memerhatikan kegiatan keterlibatannya pada kegiatan yang pertama.
2) Verbal: guru dapat mengemukakan komentar sederhana pada siswa dalam suatu kegiatan dan guru juga sedang terlibat dalam kegiatan membimbing siswa lain (kegiatan lain).
c. Perhatian kepada kelompok terdiri dari:
1) Kesiagaan, yaitu suatu kegiatan pembelajaran guru dapat memusatkan perhatiannya kepada kelompok dalam mengerjakan suatu tugas dengan kreasi guru yang masih menjadi tanda tanya sebelum dikemukakan suatu objek pertama atau topic dan secara acak siswa diminta menjawab atau memberikan komentar. Sementara kelompok yang lain dilibatkan dalam suatu pekerjaan bebas.
2) Pertanggungjawaban, yaitu guru meminta pertanggungjawaban siswa atas kegiatannya. Setiap siswa bertanggung jawab sebagai anggota kelompok pada tugas atau kegiatan berkelompok. Pertanggungjawaban itu dapat dilakukan dengan meminta siswa mengamati diskusi dalam kelompok kemudian memberikan laporan atau menunjukkan bukti suatu kegiatan yang telah dilaksanakan.
2. Keterampilan represif berkaitan dengan pengembangan kondisi belajar yang optimal dengan kegiatan pembelajaran sebagai berikut:
a. Menganalisis, mengklasifikasikan, dan mendefinisikan tingkah laku siswa yang mengganggu,
b. Pengelolaan kelompok dengan memperlancar tugas-tugas dan memelihara kelompok, dan
c. Menemukan dan memecahkan tingkah laku yang menimbulkan masalah.

E. Cara Pengelolaan Kelas yang Baik
Menurut Bobbi De Potter, dkk.(2000) terdapat beberapa modalitas dalam resep pengelolaan pembelajaran di kelas, yaitu:
1. Dari dunia mereka ke dunia kita
Membuat rencana pengajaran yang dapat mengerti minat, hasrat, dan pikiran atau dunia anak.
2. Cermati modalitas V-A
Mencermati modalitas yang dimiliki oleh siswa apakah visual, auditorial. Akan tetapi, karena siswa yang ada didalam kelas itu banyak dan beragam modalitasnya, tentu saja seorang guru harus megkombinasikan ketiga modalitas tersebut dalam proses pembelajaran atau sekurang-kurangnya menggunakan salah satunya secara bergiliran.
3. Model kesuksesan dari sudut pandang perancang
Rencana pengajaran untuk mempersiapkan siswa belajar dengan penuh kehangatan dan antusias karena segalanya bertujuan.
4. Penggunaan metafora, perumpamaan, dan sugesti
Proses belajar yang menggunakan symbol-simbol yang mempunyai makna atau kecocokan dengan pengalaman sebelumnya dan atau memberi bayangan yang mudah diingat untuk mempermudah dalam belajar.

F. Keterampilan Pengelolaan Kelas
Keterampilan pengelolaan kelas secara praktis berkaitan dengan dua usaha sebagai berikut:
1. Mempertahankan pengelolaan kelas
Merupakan reaksi atau respon langsung atas peristiwa yang terjadi dalam suasana nyata di kelas. Langkah-langkah mempertahankan pengelolaan kelas diantaranya:
a. Sikap tanggap
1) Membagi pandangan guru secara adil dan merata
2) Mendekati siswa dengan hangat dan bersahabat
3) Member pengakuan dan perhatian
4) Bersikap tegas pada gangguan yang terjadi
b. Pemusatan perhatian
1) Member petunjuk yang jelas
2) Pengulangan materi
3) Penyesuaian irama belajar
4) Pertanggungjawaban tugas.
2. Mengembangkan iklim kelas
Diantara cara untuk mengembangkan iklim kelas adalah modifikasi prilaku siswa yaitu memperbaiki cara berfikir, gaya ekspresi emosi, dan berperilaku.

G. Hal-hal yang Harus Dihindari
1. Campur Tangan Yang Berlebihan
Seperti guru menyela kegiatan yang asyik berlangsung dengan komen atau petunjuk mendadak, maka kegiatan siswa akan terganggu atau terputus. Kesan guru tidak memperhatikan kebutuhan siswa, hanya memuaskan dirinya saja.
2. Kelenyapan
Terjadi jika guru gagal secara tepat melengkapi suatu intruksi penjelasan atau petunjuk, komentar. Kemudian menghentikan penjelasan atau sajian tanpa alas an yang jelas dan membiarkan pikiran anak mengawang-awang.
3. Ketidak tepatan memulai dan mengahiri kegiatan
Terjadi jika guru memulai suatu aktivitas tanpa mengakhiri aktivitas sebelumnya.
4. Penyimpangan
Terjadi jika dalam kegiatan PBM guru terlalu asik dengan kegiatan tertentu seperti sibuk dengan tempat duduk yang tidak rapi atau cerita sesuatu yang tidak ada hubungan dengan materi terlalu jauh, sehingga kelancaran kegiatan di kelas terganggu.
5. Bertele-tele
Terjadi jika pembicaraan guru bersifat :
a. Mengulang-ulangi hal-hal tertentu
b. Memperpanjang pelajaran atau penjelasan
c. Mengubah teguran menjadi ocehan yang panjang
Hal ini merupakan hambatan kemajuan pelajaran atau aktivitas kelas. Siswa pada umumnya mencatat sebagai hal yang membosankan dan tidak mau terlibat dalam kegiatan di kelas.
6. Pengulangan Penjelasan Yang Tidak Perlu Terjadi Jika
Guru memberi petunjuk yang berulang-ulang secara tidak perlu membagi kelas dalam memberikan petunjuk atau secara terpisah memberi petunjuk ke setiap kelompok yang sebelumnya dapat diberikan secara bersama-sama kepada seluruh kelompok sekali saja di depan kelas.