Selasa, 10 November 2009

PENDEKATAN TES BAHASA

Tes bahasa merupakan bagian dari ilmu bahasa atau linguistik, yaitu ilmu yang mempelajari seluk beluk bahasa. Kajian tes bahasa dapat bersifat umum seperti yang dilakukan dalam linguistik umum yang membahas masalah-masalah umum seperti latar belakang dan sasaran kajian bahasa. Kajian bahasa dapat pula bersifat ilmiah, teoritis, dan rinci seperti yang dilakukan dalam linguistik murni atau linguistik teoretis yang menyajikan kajian-kajian tentang seluk beluk tata bahasa transformasi, atau aspek tertentu dari bahasa seperti kajian tentang makna dalam kajian semantik dan kajian dari sudut pandang psikologi dalam psikolinguistik dan lain-lain.
Tes bahasa merupakan bagian dari keseluruhan penyelenggaraan pembelajaran bahasa, khususnya sebagai bagian dari komponen ke-3, yaitu evaluasi hasil pembelajaran. Dalam kedudukan tersebut, tes bahasa mempunyai kaitan yang sangat erat dengan komponen-komponen lain dalam penyelenggaraan pembelajaran bahasa, terutama komponen pembelajaran yang mendasarinya, yaitu kegiatan pembelajaran. Hal serupa berlaku juga sebaliknya terhadap komponen kegiatan pembelajaran itu sendiri yang seharusnya amat erat kaitannya dengan komponen tujuan pembelajaran yang mendasarinya.
Secara umum pandangan terhadap bahasa menentukan dan mendasari bagaimana pembelajaran bahasa diselenggarankan dan pembelajaran bahasa yang diselenggarakan menentukan tes bahasanya diselenggarakan. Dengan kata lain, pendekatan terhadap bahasa menentukan pendekatan pembelajaran bahasa, dan pendekatan pembelajaran bahasa menentukan pendekatan dalam penyelenggaraan tesnya. Dalam kajian bahasa dikenal ada berbagai cara pandang dan unsur yang dianggap penting oleh ahli yang berbeda atau tahap perkembangan ilmu pengetahuan yang berbeda. Perbedaan cara pandang tersebut dapat dikenali dan ditelusuri keberadaannya pada berbagai cabang kajian bahasa, termasuk tes bahasa, dalam bentuk (1) Pendekatan Tradisional, (2) Pendekatan Diskert, (3) Pendekatan Integratif, (4) Pendekatan Pragmatik, dan (5) Pendekatan Komunikatif.


1. PENDEKATAN TRADISIONAL

Pendekatan tradisional dalam tes bahasa dikaitkan dengan bentuk pembelajaran bahasa yang tradisional (konvensional) yang banyak digunakan pada kurun waktu ketika belum cukup banyak pembelajaran yang pengembangan dan penyelenggaraannya didasarkan atas kajianyang memadaiterhadap seluk beluk bahasa. Dalam pendekatan tradisional pembelajaran bahasa diselenggarakan sekedar untuk kebutuhan terbatas tertentu seperti; berkomunikasi secara lisan dan terbatas dan dititik beratkan pada ketatabahasaan. Banyak diantaranya hanya menekankan pada kemampuan menerjemahkan dari suatu bahasa ke dalam bahasa lainnya.
Penyelenggaraan tes dalam penyelenggaraan pembelajaran secara tradisional itu dilakukan juga secara tradisional tanpa menggunakan suatu teori bahasa tertentu sebagai dasar. Dalam penyelenggaran tes bahasa dengan pendekatan tradisional ini tidak terdapat rambu-rambu yang jelas atau baku tentang jenis kemampuan bahasa yang dijadikan sasaran, cara bagaiman tes itu diselenggarakan, dan bahkan cara bagaimana pekerjaan siswa itu dinilai. Semuanya terpulang pada penyusun dan penyelenggara tes. Kadangkala tes bahasa itu terdiri dari tugas untuk sekedar menerjemahkan suatu teks yang ditulis dalam bahasa yang sedang dipelajari ke dalam bahasa pertama. Oleh sebab itu pendekatan tradisionalsering disebut sebagai pendekatan terjemahan.
Dalam pendekatan ini penyelenggaraan tes bahasa banyak diwarnai dengan berbagai bentuk subjektifitas dalam hal pemilihan kemampuan bahasa yang dijadikan sasaran, pemilihan dan penetapan bahan dan isi tes, serta cara penilaian peserta tes. Oleh karena itu, pendekatan tes bahasa ini seringkali disebut tes pendekatan bahasa pra-ilmiah.

2. PENDEKATAN DISKRET

Dalam pandangan ilmu bahasa struktural, bahasa dipahami sebagai sesuatu yang memiliki struktur yang demikian rapi seperti suatu bangunan buatan manusia. Dalam pandangan bahasa struktural ini, wacana sebagai wujud penggunaan bahasa yang luas cakupannya, dipahami sebagai suatu yang terdiri dan tersusun dari wacana yang lebih kecil dalam bentuk paragrafdan kalimat. Kalimat dipahami sebagai terdiri dari frasa. Frasa terdiri dari kata-katak. Kata-kata terdiri dari suku kata. Suku kata terdiri dari morfem. Morfem terdiri dari alomorf. Alomorf terdiri dari fonem, dan demikian seterusnya. Pendekkata menurut pandangan struktural setiab bagian dari bahasa itu dapat dipisah-pisahkan menjadi bagian yang lebih kecil. Demikian juga dengan berbagai aspek kebahasaan( tata bahasa).
Sebagai bagian dari penerapan kajian ilmu bahasa struktural, bahasa dalam tes bahasa diskret dipahami sebagai sesuatu yang berstruktur dan terdiri dari bagian-bagian yang bersama-sama membentuk suatu entitas yang disebut bahasa. Bagian-bagian bahasa sampai yang terkecil itu dapat diidentifikasi secara terpisah dan tersendiri atau diskret, baik dalam pelaksanaan pembelajaran maupun penyelenggaraan tes yang diskret (discrate-point testing). Dalam tes pendekatan diskret, satu butir tes dimaksudkan untuk mengukur hanya satu unsur komponen bahasa. Tes bahasa yang diskret terdiri dari butir-butir tes yang, yang secara terpisah di luar konteks, menugaskan peserta tes untuk membedakan satu bunyi bahasa dari bunyi bahasa yang lain ( misalnya konsonan δ dan ė), melafalkan satu bunyi bahasa tertentu (misalnya vokal æ dan å), menyebutkan lawan kata dari satu kata tertentu (menang atau kalah), bentuk jamak daru suatu kata benda ( bentuk jamak dari rumah adalah rumah-rumah), dan lain-lain. Dewasa ini penerapan pendekatan diskret dalam penyelenggaraan tes tidak banyak ditemukan, terutama karena validitas yang dipersoalkan maupun nilai kepraktisan dan tingkat kebutuhannya. Penerapan tes bahasa atas dasar pendekatan diskret ini mungkin masih dapat dipahami dan ditemukan pada sejumlah bentuk pembelajaran bahasa oleh calon pengajar bahasa, khususnya bahasa asing.
Pendekatan diskret ini diterapkan atas dasar konvensional terhadap keempat aspek kebahasaan (menyimak, membaca, menulis, berbicara) dan empat komponen bahasa (bunyi bahasa, struktur bahasa, kosakata, dan kelancaran bahasa). [ lihat tabel 2.1].


3. PENDEKATAN INTEGRATIF

Pendekatan integratif lebih sesuai dengan kebutuhan nyata di mana kemampuan dan unsur bahasa pada umumnya tidak diperlakukan secara terpisah-pisah. Dalam penggunaan bahasa senyatanya kemampuan dan unsur bahasa digunakan dalam wacana yang merupakan gabungan dari beberapa jenis kemampuan atau unsur bahasa. Bila dalam pendekatan diskert bahasa seolah-olah dipisahkan menjadi bagian-bagian yang lebih kecil sampai pada bagian terkecil, pendekatan integratif dapat dipandang sebagai penyatuan bagian-bagian itu kembali menjadi lebih utuh. Seberapa lebih utuh penggabungan itu tergantung pada berapa banyak bagian kemampuan dan komponen bahasa yang perlu saling digabungkan untuk menjawab butir-butir tes yang diselenggarakan.
Butir tes kosakata seperti “baik x …….” (dibaca: lawan kata baik adalah…..) pada dasarnya bersifat diskert karena digunakan secara lepas. Jika pernyataan yang sama itu dikemas dalam kalimat “orang itu sangat baik, sedangkan saudaranya…...), bitur tes yang semula diskert berubah menjadi integratif karena digunakan dalam kaitannya dalam unsur-unsur bahasa lain. Dalam hal itu, kemampuan menemukan jawaban berupa kata jahat tidak semata-mata dimungkinkan oleh pengetahuan tentang kosakata baik dan jahat, tetapi dipermudah oleh pengetahuan tentang kosakata orang itu dan saudaranya. Tercermin bahwa kemampuan menjawab butir tes tersebut tidak sekedar mengandalkan penguasaan unsur kosakata, melainkan melibatkan pula penguasaan unsur bahasa lain, yaitu susunan kata-kata yang merupakan bagian dari tata bahasa.
Ciri pendekatan integratif yang melibatkan lebih dari satu unsur merupakan penggabungan lebih dari satu jenis kemampuan atau komponen bahasa. Pada penggunaan bahasa senyatanya, termasuk dalam mengerjakan tes, penggabungan unsur bahasa pada pendekatan integratif bahkan dapat bersifat jauh lebih luas dan menyeluruh, menyangkut penggunaan bahasa dalam komunikasi secara keseluruhan.


4. PENDEKATAN PRAGMATIK

Pendekatan pragmatik awalnya digunakan dalam kaitannya dengan teori tentang kemampuan memahami berdasarkan kemampuan tata bahasa pragmatik ( pragmatik expectancy grammar), atau kemampuan pragmatik. Kemampuan itu merupakan kemampuan untuk memahami teks atau wacana, tidak hanya dalam konteks linguistik melainkan juga dengan memanfaatkan kemampuan pemahaman unsur-unsur ekstra linguistik. Dalam memahami wacana, seseorang tidak saja mengandalkan kemampuan linguistikdalam bentuk pemahaman terhadap bentuk dan susunan kalimat, frasa, kata-kata, dan unsur linguistik lain yang secara eksplisit terdapat dalam penggunaan bahasa. Pemahaman yang lebih dalam terdapat dalam konteks ekstra linguistik (exstralinguistic context), yaitu aspek-aspek pemahaman bahasa di luar apa yang diungkapkan secara eksplisit melalui bahasa, dan yang meliputi segala sesuatu dalam bentuk kejadian, pikiran, antar hubungan, perasaan, persepsi, ingatan, dan lain-lain.
Kemampuan pemahaman yang diharapkan dapat disadap dalam tes pragmatik, yang definisinya sebagai berikut :

Prosedur atau tugas yang menuntut pembelajaran untuk mencoba memahami rangkaian elemen bahasa, yang tersusun dalam bentuk penggunaan bahasa dengan berbagai kendala kontekstual yang secara alamiah dan wajar terdapat dalam penggunaan bahasa, sehingga mengharuskan peserta tes untuk mengaitkan rangkaian elemen bahasa itu dengan konteks di luar bahasa melalui pemetaan pragmatik.


Kendala alamiah yang terdapat dalam suatu wacana pragmatik mengharuskan pembaca (atau pendengar) untuk;
- mengolah dan memahami wacana itu dengan segala macam kendala, yang bersifat linguistik maupun ekstralinguistik, yang secara alamiah selalu mewarnai setiap wacana yang diungkapkan,
- memahami hubungan-hubungan pragmatik antara konteks linguistik dan ekstralinguistik.
Dalam hal itu kendala yang bersifat linguistik berupa kurangnya pemahaman terhadap susunan wacana, tata bahasa, atau kata-kata yang digunakan dalam wacana. Sedangkan kendala ekstralinguistik berupa kurangnya pemahaman terhadap aspek-aspek diluar linguistik dalam bentuk abstraksi pengalaman hidup yang diperlukan untuk memahami isi wacana yang tengah dihadapi.
Penerapan pendekatan pragmatik dalam tes bahasa peling sering dikaitkan dengan tes cloze, disamping dikte. Pada tahap ini beberapa ciri khas tes cloze dapat digunakan sebagai sarana untuk mendeskripsikan ciri-ciri tes pragmatik seperti disebutkan di atas. Pada umumnya tes cloze terdiri dari teks bacaan sepanjang kira-kira 400-500 kata. Kemudian ada beberapa kata yang dihapus. Kemampuan untuk menemukan dan menuliskan kata-kata yang sama dihapus berdasarkan teks yang masih tertinggal tersebut, ditafsirkan sebagai ceminan dari kemampuan untuk memahami teks secara keseluruhan berdasarkan kemampuan pragmatik yang meliputi kemampuan memahami bacaan, susunan bacaan, tata bahasa, dan kosa kata (kemampuan linguistik), serta pengetahuan tentang seluk-beluk bidang yang dibahas dalam teks bacaan ( kemampuan ekstralinguistik ).



5. PENDEKATAN KOMUNIKATIF

Pendekatan komunikatif dapat dipahami sebagai pengembangan dari pendekatan pragmatik dengan cakupan yang jauh lebih luas, lebih beragam dan lebih kompleks. Pendekatan komunikatif terhadap bahasa terkait juga dengan gagasan tentang konteks ekstra linguisitik seperti halnya dalam pendekatan pragmatik, namun dengan cakupan yang lebih lengkap dan lebih luas, karena bertitik tolak dari komunikasi sebagai fungsi utama dalam penggunaan bahasa. Pendekatan komunikatif menjangkau cakupan yang lebih luas dengan menelaah penggunaan dan pemahaman bahasa dari fungsi utamanya, yaitu melakukan komunikasi dengan mengandalkan penggunaan kemampuan komunikatif.
Adapun kemampuan komunikatif itu mula-mula dipahami antara lain sebagai:
Kemampuan untuk memahami atau mengungkapkan apa yang sudah atau yang perlu diungkapkan, dengan menggunakan berbagai unsur bahasa yang terdapat di semua bahasa, dalam memhami ungkapan-ungkapan yang ada secara luwes dan disesuaikan dengan perubahan yang senantiasa timbul tidak semata-mata berdasarkan nilai-nilai konvensional yang sudah baku.
Bertitik tolak dari definisi yang tidak mudah dipahami itu, pemahaman terhadap kemampuan komunikatif itu lebih lanjut dijabarkan sebagai terdiri dari penguasaan terhadap tiga komoponen utama, masing-masing adalah
1) Kemampuan bahasa(language competen), yang meliputi berbagai unsur bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi lewat bahasa, termasuk struktur, kosakata, prosodi, makna.
2)Kemampuan strategis (strategic competen), yaitu kemampuan untuk menerapkan dan memanfaatkan komponen-komponen kemampuan bahasa dalam berkomunikasi lewat bahasa senyatanya, dan
3) Mekanisme psiko-fisiologis ( psychophysiological mwchaism), yaitu proses psikis dan neurologis yang digunakan dalam berkomunikasi lewat bahasa.
Untuk mempermudahkan dalam memahaminya maka didefinisikan kemampuan komunikatif yaitu suatu kemampuan untuk menggunakan bahasa sesuai dengan situasi nyata, baik secara riseftif maupun secara produktif(ability to use appriately, both receptively and productively in real situtions).
Penerapan kemampuan komunikatif pada tes bahasa komunikatif didasarkan pada rincian rumusan yang banyak digunakan, yang memhami kemampuan komunikatif itu sebagai terdiri dari kemampuan linguistik (linguistc competence), kemampuan wacana (discourse competence), dam kemampuan strategis(strategic competence). Di tengah berbagai upaya untuk memahami dan mendefinisikan kemampuan komunikatif yang masih dalam perkembangan itu, kemampuan komunkatif yang dimaknai sebagai upaya untuk menggunakan kemampuan linguistik yang cocok dengan situasi nyata kiranya dapat digunakan. Secara umum tes bahasa komunikatif adalah tes yang mengedepankan penggunaan kemampuan komunikatif, yang tidak mengedepankan pengetahuan gramatikal. Secara umum pula tes bahasa komnikatif merupakan tes yang pengembangan dan penggunaannya didasarkan atas penerapan teori kemampuan bahasa komunikatif, meskipun bentuknya tergantung pada dimensi mana yang perlu diutamakan seperti kontek, keaslian(authenticity), atau simulasi bahasanya.

0 komentar:

Posting Komentar